Reporter: Vendy Yhulia Susanto | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah resmi menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja.
Pemerintah beralasan penerbitan Perppu mempertimbangkan kebutuhan mendesak dalam mengantisipasi kondisi global, baik yang terkait ekonomi maupun geopolitik. Serta untuk menindaklajuti putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Menanggapi hal tersebut, Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan, pilihan presiden untuk menerbitkan Perppu Cipta Kerja memperlihatkan lemahnya politik hukum legislasi pemerintah. Karena perumusan Perppu sangat bersifat subyektif, minim perencanaan.
“Pilihan untuk penerbitan Perppu sarat akan kepentingan yang pragmatis karena Perppu Cipta Kerja telah menegasikan partisipasi publik yang bermakna,” ujar Bhima dalam keterangan tertulis, Minggu (1/1).
Baca Juga: Perppu UU Cipta Kerja Terbit, Menko Airlangga: Beri Kepastian Hukum bagi Investor
Hal ini tentu sangat berbeda dengan mekanisme pembentukan undang-undang yang dijaga oleh tahapan yang terukur mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan/penetapan, dan pengundangan.
“Politik perundang-undangan yang baik mestinya dikedepankan oleh pemerintah karena legislasi melalui undang-undang jauh lebih sempurna dan tentu memiliki basis akademik yang memadai,” ucap Bhima.
Bhima menjelaskan, indikator kegentingan yang memaksa sebagai alasan penebitan Perppu Cipta Kerja tidak memenuhi kriteria. Pertama, kondisi kegentingan yang memaksa dengan diterbitkannya Perppu bertolak belakang dengan asumsi makro ekonomi APBN 2023 dimana pertumbuhan ekonomi sebesar 5,3%, cenderung tinggi.
Ancaman krisis akibat perang Ukraina pun sejauh ini justru untungkan harga komoditas batubara dan sawit. Surplus perdagangan berturut turut yang terjadi di tahun 2022 merupakan windfall dari adanya perang di Ukraina.
“Oleh karena itu harusnya pemerintah turunkan dulu asumsi pertumbuhan tahun depan menjadi minus, baru ada kondisi yang mendesak untuk terbitkan Perpu,” kata Bhima.
Kedua, kerangka regulasi terkait penanganan ekonomi sesungguhnya masih ada dalam ragam undang-undang yang sebenarnya membuka ruang pemerintah untuk melakukan ragam kebijakan-kebijakan yang akseleratif.
Seperti UU 22 Tahun 2020 tentang Penetapan Perpu Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi, UU No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan dan ragam regulasi keuangan lainya yang masih akomodatif.
Ketiga, kehadiran Perppu justru menciptakan ketidakpastian kebijakan. Kegentingan dari sisi kinerja ekonomi berisiko muncul karena Pemerintah terbitkan Perpu. Hal ini akan kontradiktif terhadap minat berinvestasi khususnya penanaman modal asing (PMA).
Masalah utama dalam daya saing salah satunya tingkat ketidakpastian kebijakan cukup tinggi, investor bisa ragu untuk masuk tahun 2023 kalau aturan berubah-ubah. Padahal investor perlu kepastian regulasi jangka panjang.
Idealnya pada saat pembuatan produk regulasi apalagi setingkat undang-undang harus disiapkan secara matang. Pembahasan UU Cipta Kerja yang sedari awal terburu-buru mengakibatkan kekhawatiran aturan akan selalu terbuka untuk dilakukan revisi.
Celios mendesak DPR untuk membuka ruang partisipasi publik dalam pembahasan Perpu Cipta Kerja sebelum ditetapkan sebagai undang-undang.
Celios juga mendorong pemerintah untuk secara terbuka dan obyektif serta rasional menjelaskan Kriteria “Kegentingan yang Memaksa” dalam penerbitan Perpu Cipta Kerja.
Selain itu, mendorong masyarakat sipil melakukan upayan hukum dengan melakukan Judicial Review Perpu Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi. Serta mendorong masyarakat sipil mengawal proses pembahasan Perpu di DPR sebelum ditetapkan menjadi undang-undang.
Baca Juga: KSPI: Isi Perppu Cipta Kerja Tak Sesuai Harapan Buruh
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sebagai ungkapan terimakasih atas perhatian Anda, tersedia voucer gratis senilai donasi yang bisa digunakan berbelanja di KONTAN Store.