Reporter: Lidya Yuniartha | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Defisit neraca dagang sepanjang 2018 tercatat sebesar US$ 8,57 miliar. Angka ini merupakan defisit terbesar sepanjang sejarah reformasi.
Besarnya defisit neraca dagang ini disebabkan oleh defisit minyak dan gas (migas) sebesar US$ 12,4 miliar, dimana defisit minyak mentah sebesar US$ 4,04 miliar, defisit hasil minyak US$ 15,94 miliar, meski gas masih mencatat surplus US$ 7,58 miliar.
Project Consultant Asian Development Bank Institute Eric Sugandi mengatakan, masalah impor migas ini sudah berlangsung lama, salah satunya karena Indonesia kekurangan kilang minyak. Sementara, dalam jangka pendek, kebijakan menahan harga BBM turut berpengaruh.
"Walaupun sekarang harga minyak turun, tapi untuk beberapa bulan sebelumnya kenaikan harga minyak dan produk olahannya membuat nilai impor naik sehingga berpengaruh negatif pada full year neraca dagang," tutur Eric kepada Kontan.co.id, Selasa (15/1).
Pemerintah memang sudah memperluas penggunaan B20 sejak 2018, yang salah satu tujuannya untuk menekan impor minyak. Namun, menurut Eric, kebijakan B20 ini tidak efektif karena pengguna bahan bakar ini realtif terbatas.
Melihat kilang yang masih kurang, solusi yang ideal untuk mengatasi impor ini memang membangun kilang-kilang baru. Tetapi Eric pun mengatakan, upaya ini mengatakan waktu yang lama dan belum banyak investor yang berani melakukan investasi.
Menurut Eric, dibutuhkan solusi yang komprehensif untuk menekan impor minyak ini, yakni perlu mendorong masyarakat untuk beralih ke moda transportasi umum. "Kalau hanya melihat ekspor-impor dan kilang saja tidak cukup," tandas Eric.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News