kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,51   10,20   1.12%
  • EMAS1.350.000 0,52%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Ekonom: Peningkatan harga minyak dan pelemahan rupiah dongkrak penerimaan negara


Selasa, 01 Januari 2019 / 18:37 WIB
Ekonom: Peningkatan harga minyak dan pelemahan rupiah dongkrak penerimaan negara
ILUSTRASI. ANALISIS - Lana Soelistianingsih


Reporter: Lidya Yuniartha | Editor: Handoyo .

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018 mencatat kinerja yang baik. Pasalnya, penerimaan negara berhasil mencapai 100% dimana penerimaan perpajakan, bea cukai dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) tumbuh dengan baik.

Belanja negara terealisasi dengan baik sehingga defisit APBN pun sebesar 1,72% dari PDB atau lebih rendah dari angka UU APBN 2018 yang sebesar 2,19%. Sementara itu, keseimbangan primer pun sebesar Rp 4,1 triliun.

Ekonom Samuel Sekuritas, Lana Soelistianingsih memandang, penerimaan negara yang baik tahun ini bersumber dari PNBP. Ini pun didongkrak oleh harga minyak dan batu bara yang membaik serta pelemahan rupiah.

Apalagi, pemerintah membuat target penerimaan 2018 sesuai dengan asumsi makro yang ditetapkan. Dalam asumsi makro 2018, ditetapkan nilai tukar rupiah sekitar Rp 13.400 per dollar AS dan harga minyak US$ 48 per barel.

"Seiring dengan harga minyak dan batu bara yang membaik, dan pelemahan rupiah, itu mendongkrak penerimaan negara bukan pajak. Tetapi untuk penerimaan pajak, kalau kata Dirjen Pajak sebelumnya masih ada shortfall," tutur Lana kepada Kontan.co.id, Selasa (1/1).

Meski penerimaan negara tahun lalu sudah mencapai target, Lana pun menyebut belum tentu penerimaan negara tahun ini bisa mencapai target. Menurutnya, capaian target tersebut sangat tergantung antara asumsi makro 2019 dengan realisasi nantinya.

"Kalau asumsi rupiah misalnya Rp 15.000 kemudian melemah, lalu minyak mentah diasumsikan US$ 70 per barel, nanti masih bisa di bawah. Semua tergantung asumsi. Jadi sustainabilitynya tidak bisa dikontrol. Apalagi, yang menentukan harga minyak bukan kita," tutur Lana.

Di 2019, Lana melihat harga minyak mentah dan perang dagang masih menjadi tantangan untuk mencapai target penerimaan. Menurut Lana, walaupun Rusia dan OPEC sepakat untuk mendorong produksi minyak, tetapi langkah tersebut dianggap tak cukup kuat untuk mendongkrak harga minyak.

Sementara, permintaan minyak masih berpotensi menurun. Penurunan permintaan ini boleh jadi disebabkan oleh ekonomi dunia yang melambat dan resesi di Amerika hingga perkembangan teknologi. 

"Walaupun bukan karena perlambatan ekonomi dan resesi AS yang belum confirm, demand atas minyak bisa menurun karena penggunaan mobil listrik yang berkembang. Ini juga harus dipertimbangkan," tutur Lana.

Sementara, adanya kesepakatan China dan AS yang melakukan gencatan senjata hingga Maret nanti harus dimanfaatkan oleh Indonesia untuk mendongkrak perekonomuan. Menurut Lana, Indonesia tetap harus mengantisipasi setiap langkah yang akan diambil kedua negara. Indonesia sudah harus bersiap-siap sejak saat ini, sehingga ketika kedua negara memutuskan untuk tidak melanjutkan kesepakatan, Indonesia telah siap.

Tak hanya faktor eksternal, adanya pemilihan presiden dan pilpres di tahun ini membuat efektivitas pemerintah tidak maksimal. Menurut Lana, banyaknya menteri yang berasal dari partai politik akan membuat mereka lebih fokus terhadap politik tahun ini. 

"Kalau konsentrasi pemerintah tidak lagi ke pemerintah tetapi ke politik, ini membuat efektivitas pemerintahan tidak maksimal. Padahal kita butuh kebijakan strategis dalam enam bulan ke depan," jelas Lana.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Success in B2B Selling Omzet Meningkat dengan Digital Marketing #BisnisJangkaPanjang, #TanpaCoding, #PraktekLangsung

[X]
×