Reporter: Nurtiandriyani Simamora | Editor: Tri Sulistiowati
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Ekonom menilai percepatan reformasi fundamental pada sektor rill akan efektif mendorong percepatan realisasi investasi di dalam negeri dan mendorong pertumbuhan ekonomi.
Melalui penguatan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko, Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto menegaskan reformasi sektor riil sudah berjalan dan akan menjadi motor pertumbuhan ekonomi ke depan.
Dengan langkah ini, pemerintah berharap pertumbuhan ekonomi tidak hanya bertumpu pada stimulus fiskal dan moneter, tetapi juga dari peningkatan produktivitas sektor riil dan kemudahan berusaha.
Global Market Economist Maybank Indonesia, Myrdal Gunarto menilai rilis PP 28/2025 menjadi sinyal positif untuk mendorong masuknya investasi ke Indonesia. Namun menurutnya implementasi aturan ini membutuhkan konsistensi dan waktu, mengingat kondisi iklim investasi global belum sepenuhnya kondusif akibat perang dagang serta perlambatan aktivitas ekonomi dunia.
Baca Juga: Balik ke Fase Ekspansif, Prospek Industri Hijau Positif
“Jadi ya kita menyambut positif aturannya, walaupun juga kelihatannya untuk implementasi ini perlu ada konsistensi yang cukup baik supaya kelihatan ada hal yang berubah dari progres investasi di Indonesia. Jadi ya kita sambut positif, tapi ini kelihatannya perlu waktu,” jelas Gunarto kepada Kontan, Minggu (14/9).
Lebih lanjut ia juga menyinggung ICOR. Menurutnya, penurunan ICOR secara signifikan kemungkinan baru bisa terlihat tahun depan, seiring perbaikan bertahap pada aktivitas ekonomi.
“Kalau untuk tahun ini signifikansinya masih butuh waktu. Kalau pun ada perubahan yang lebih baik, ya kemungkinan tahun depan sih,” pungkasnya.
Kepala Ekonom Josua Pardede mengatakan, penerapan PP 28 Tahun 2025 akan lebih banyak mempercepat realisasi proyek ketimbang langsung memicu lonjakan investasi baru di sisa akhir tahun ini.
Menurut Josua, aturan ini mempertegas pelaksanaan perizinan berbasis risiko melalui OSS (Online Single Submission) sekaligus melarang kementerian/lembaga maupun pemerintah daerah menambah persyaratan di luar ketentuan.
“Ini memotong waktu dan ketidakpastian di beberapa titik kritis,” ujarnya kepada Kontan, Jumat (12/9).
Beberapa percepatan yang dimaksud antara lain konfirmasi otomatis Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR) saat rencana detail tata ruang terintegrasi di OSS, percepatan izin tanpa penilaian berjenjang untuk proyek di kawasan ekonomi khusus (KEK) atau kawasan industri, serta pemrosesan elektronik untuk seluruh persyaratan dasar maupun izin penunjang.
“Efeknya kemungkinan lebih berupa percepatan proyek ketimbang peningkatan proyek baru, karena realisasi investasi biasanya berjeda satu sampai tiga triwulan setelah perbaikan perizinan,” kata Josua.
Ia menambahkan, proyek yang sudah siap lahan dan studi, terutama di sektor logam dasar, transportasi dan logistik, real estat industri, hingga jasa penunjang, berpotensi mendapat dorongan langsung.
Menurut Kementerian Investasi dan Hilirisasi/BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal), realisasi investasi semester I-2025 sudah mencapai Rp 942,9 triliun atau naik 13,6% secara tahunan (year on year/yoy), dengan serapan tenaga kerja 1,26 juta orang. Pada Kuartal II saja, investasi mencapai Rp 477,7 triliun dengan 665.700 pekerja.
“Dengan baseline yang kuat, ini memberi ruang bahwa percepatan izin usaha pada Kuartal IV-2025 bisa membantu menjaga momentum di sektor padat modal dan padat karya yang sudah dominan pada 2025,” jelas Josua.
Lebih lanjut Josua menyebut dampak implementasi PP 28 Tahun 2025 juga akan membawa dampak kualitas investasi bagi sejumlah sektor kunci, mulai dari hilirisasi, properti industri, hingga penyerapan tenaga kerja.
Menurutnya, mekanisme percepatan izin di kawasan ekonomi khusus (KEK) maupun kawasan industri serta konfirmasi otomatis Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR) akan mengurangi risiko penundaan proyek smelter dan manufaktur di sentra hilirisasi seperti Sulawesi Tengah, Maluku Utara, dan Jawa Barat.
“Wilayah-wilayah ini memang menyumbang porsi terbesar hilirisasi pada 2025,” ujarnya.
Bagi Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN), kepastian KKPR, penerbitan Persetujuan Bangunan Gedung (PBG)/Sertifikat Laik Fungsi (SLF) melalui OSS, serta larangan penambahan izin tambahan oleh daerah diyakini menurunkan biaya transaksi. Efeknya akan terasa pada subsektor gudang, kawasan industri, perkantoran industri, dan logistik yang juga tumbuh besar tahun ini.
Dari sisi tenaga kerja, Josua memperkirakan efek langsung aturan baru ini akan muncul pada kuartal IV-2025, berupa percepatan konstruksi dan operasional awal proyek.
“Hal ini akan menyerap pekerja konstruksi, logistik, dan jasa pendukung. Data semester I-2025 bisa menjadi benchmark, di mana serapan kerja mencapai ratusan ribu per triwulan sebagaimana pola Kuartal II-2025,” jelasnya.
Namun Josua mengingatkan, perizinan bukan satu-satunya hambatan dalam realisasi investasi. Ia menyebut hambatan implementasi program dan investasi juga terkait koordinasi lintas instansi, kualitas proyek, pembiayaan, dan likuiditas nasional.
"Jadi, perbaikan perizinan perlu dibarengi penyediaan lahan, utilitas, dan akses pembiayaan agar realisasi benar-benar naik, bukan sekadar izin terbit lebih cepat,” tegasnya.
Josua juga menyinggung potensi perbaikan Incremental Capital Output Ratio (ICOR). Menurutnya, kepastian waktu perizinan menekan idle capital dan lead time proyek berpotensi menurunkan ICOR asalkan produktivitas modal benar-benar meningkat. Penurunan ICOR juga berarti proyek lebih cepat selesai, utilisasi aset tinggi, dan kebocoran biaya berkurang.
“PP 28/2025 membantu di sisi waktu dan kepastian, sehingga secara teori menurunkan ICOR proyek yang layak karena masa tunggu dan idle capital berkurang,” ujar Josua.
Ia menjelaskan, ketentuan otomasi konfirmasi KKPR serta mekanisme percepatan izin dapat memperpendek lead time pra-konstruksi.
Namun Josua mengingatkan, percepatan izin bukan satu-satunya faktor. ICOR tetap bisa tinggi jika kualitas proyek rendah atau sektor yang dipilih memang memiliki ICOR tinggi, infrastruktur pendukung serta pasokan energi, air, dan lahan macet, biaya pembiayaan mahal atau likuiditas ketat yang membuat biaya modal membengkak.
“Risiko ICOR tinggi dan tantangan pembiayaan masih jadi hambatan kunci. Proyek bisa terlihat efisien di atas kertas, tetapi jika likuiditas nasional ketat atau spesifikasi teknis kurang matang, ICOR tetap tinggi,” tegas Josua.
Baca Juga: Utilisasi Rendah Masih Membayangi Industri Galangan Kapal
Selanjutnya: Burnley vs Liverpool: Prediksi, Jadwal, dan Link Live Streaming
Menarik Dibaca: Ini 10 Provinsi dengan UMR Terendah di Indonesia & Strategi Pintar Mengatur Gaji
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News