kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Ekonom ini memperkirakan beban utang pemerintah bisa capai 55% PDB pada tahun 2023


Senin, 26 Juli 2021 / 17:54 WIB
Ekonom ini memperkirakan beban utang pemerintah bisa capai 55% PDB pada tahun 2023
ILUSTRASI. Karyawan money changer menghitung mata uang dollar US ./pho KONTAN/Carolus Agus Waluyo/05/05/2021.


Reporter: Bidara Pink | Editor: Handoyo .

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Lembaga internasional Moody’s memperkirakan rasio utang pemerintah terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada tahun 2023 berpotensi membengkak di atas 45% PDB. 

Besaran ini berarti lebih besar dari target yang disampaikan pemerintah dalam Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF) yang sebesar 43,21% hingga 43,99% PDB di 2023.

Senada, Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira memperkirakan utang pemerintah pada tahun 2023 akan jauh lebih besar dari target pemerintah. Bahkan proyeksinya, bisa lebih dari 55% PDB di tahun 2023. “Hal ini karena besarnya kebutuhan belanja dan proyeksi rasio penerimaan pajak yang masih rendah,” ujar Bhima kepada Kontan.co.id, Senin (26/7). 

Namun, bukan berarti tak ada jalan keluar bagi pemerintah untuk mempersempit rasio utang. Salah satunya, adalah pemerintah perlu menghemat belanja yang memang tidak urgen, seperti contohnya memperkecil biaya birkrasi untuk belanja pegawai dan belanja barang. 

Pemerintah juga disarankan untuk menunda proyek infrastruktur yang dibiayai lewat Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).  Kemudian, pemerintah bisa melakukan upaya ekstra untuk menggenjot penerimaan. Dengan cara menambah tarif Pajak Penghasilan (PPh) orang pribadi kaya atau dengan pendapatan di atas Rp 5 miliar dengan tarif yang lebih tinggi, yaitu 40% hingga 45%. 

Baca Juga: Rasio utang terhadap PDB diprediksi membengkak, ini saran ekonom CORE

Pemerintah juga diharapkan mampu mendorong kepatuhan pembayaran dan pelaporan SPT Wajib Pajak Pribadi non karyawan. 

Berikutnya, pemerintah juga bisa mengoptimalkan penerimaan pajak dari sinkronisasi data antara eksportir komoditas dengan data di negara tujuan ekspor. Takutnya, ada oknum nakal yang melakukan underinvoicing. “Ini merugikan negara cukup besar, karena adanya selisih data ekspor yang dicatat,” tambah Bhima. 

Namun, kalau pemerintah memang terpaksa berutang, maka Bhima lebih menyarankan pemerintah menarik pinjaman non Surat Berharga Negara (SBN) daripada harus menerbitkan SBN. Hal ini dengan pertimbangan, bunga pinjaman lebih murah daripada bunga SBN. 

Selanjutnya: Moody's peringatkan rasio utang pemerintah bisa lebih dari 45% terhadap PDB pada 2023

“Bayangkan, pinjam ke Bank Dunia bunganya 2% - 3% per tahun. Sementara penerbitan SBN 6% hingga 7% per tahun. Jadi, pinjaman jauh lebih murah dan bisa memicu disiplin fiskal karena hasil pinjaman spesifik masuk ke program tertentu,” katanya. 

Tak hanya itu, bentuk pengawasan pinjaman dinilai lebih ketat, berbeda dengan SBN yang cenderung fleksibel. Dengan demikian, pemerintah perlu melakukan perubahan porsi pinjaman dan penerbitan SBN. Kalau saat ini porsi SBN adalah sekitar 85% dan porsi pinjaman 15%, maka setidaknya perlu diubah menjadi 40% pinjaman dan 60% penerbitan SBN dalam 3 tahun ke depan. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×