Reporter: Lidya Yuniartha | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Defisit neraca perdagangangan sepanjang 2018 tercatat sebesar US$ 8,57 Miliar. Bahkan, defisit neraca dagang di November menyentuh US$ 2,05 miliar.
Melihat lebarnya defisit neraca dagang khususnya di tiga bulan terakhir 2018, Bank Indonesia (BI) pun memprediksi defisit neraca transaksi berjalan atau current account deficit (CAD) akan melebar di atas 3% dari produk domestik bruto (PDB) pada triwulan IV-2018.
Senada dengan BI, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira pun memproyeksi CAD di kuartal IV akan berkisar 3% hingga 3,2% dari PDB.
Menurut Bhima, CAD ini tak hanya disebabkan oleh melebarnya defisit neraca dagang namun juga disumbang oleh kinerja neraca jasa yang yang belum optimal. "Sektor pariwisata yang targetnya 20 juta wisatawan mancanegara (wisman) di 2018 realisasi hingga November baru mencapai 14.39 juta akibat bencana alam, dan efek pemilu," tutur Bhima kepada Kontan.co.id, Minggu (20/1).
Sejak Januari hingga September, kumulatif CAD sebesar 2,86% dari PDB. Dengan begitu, bila CAD di kuartal IV sekitar 3% hingga 3,2%, maka CAD sepanjang 2,89% hingga 2,94%. Artinya CAD tahun lalu pun lebih tinggi dibandingkan 2017 yang sebesar 1,73%.
Bhima menjelaskan, melebarnya CAD di 2018 menunjukkan kebutuhan valuta asing yang meningkat karena digunakan untuk menutupi defisit tersebut. "Ini faktor yang membuat rupiah tidak stabil," tambah Bhima.
Bhima mengatakan, melebarnya CAD juga menunjukkan struktur ekonomi Indonesia yang rapuh karena tergantung pada modal asing dan impor. Ini pun harus diwaspadai. Apalagi menurut Bhima, negara yang terkena krisis bermula dari CAD yang melebar.
Tahun ini, Bhima mengatakan, kinerja impor dan nilai tukar rupiah dan ekspor masih menjadi salah satu variabel yang menentukan CAD. "Kita saat ini diuntungkan dari rendahnya harga minyak mentah sehingga impor migas bisa ditekan tidak sebesar 2018 kemarin. Rupiah harapannya stabil ditopang masuknya inflow dari investor global. Dua variabel ini menentukan CAD," tambah Bhima.
Sementara, Bhima memprediksi pertumbuhan ekspor masih akan stagnan di kisaran 6% - 7%. Ekspor yang tak dapat meningkat signifikan disebabkan perlambatan ekonomi global, perang dagang, naiknya bunga acuan untuk kredit ekspor, hingga banyaknya hambatan dagang dari Eropa dan India terkait produk sawit.
Pemerintah sudah berupaya untuk menekan impor dengan memperluas penggunaan B20, mengenakan pajak bagi barang-barang impor konsumsi, hingga menunda beberapa proyek infastruktur. Bhima memandang, beberapa upaya tersebut masih belum efektif mengingat perluasan B20 masih kurang siap dari sisi pasokan fame dan pengguna non PSO.
Untuk lebih menekan impor ini, Bhima pun mengusulkan agar pemerintah menyeleksi proyek infrastruktur yang bahan baku impornya besar, meningkatkan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) beberapa proyek hingga 50%, dan melakukan penyelidikan dugaan dumping baja murah China.
Bhima pun menyarankan agar pemerintah tak hanya mengenakan pajak untuk barang impor konsumsi tetapi mengenakan pajak untuk impor barang modal dan bahan baku yang bisa diproduksi di dalam negeri.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News