Reporter: Ratih Waseso | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira memproyeksikan inflasi bulan April 2021 ada level 0,12% hingga 0,16%. Angka tersebut meningkat dari inflasi bulan sebelumnya sebesar 0,08%.
"Inflasi April secara bulanan diperkirakan sebesar 0,12%-0,16%. Terjadi inflasi yang disebabkan kenaikan harga pangan saat Ramadan seperti daging ayam, cabai merah dan minyak goreng. Untuk minyak goreng ada kaitan dengan harga CPO yang meningkat secara global. Pembayaran THR khususnya pada akhir April turut menyumbang kenaikan inflasi karena adanya tambahan konsumsi masyarakat," jelas Bhima kepada Kontan.co.id, Minggu (2/5).
Selain indikator tersebut, juga terdapat indikator pengalihan perilaku masyarakat dari menabung menjadi belanja. Diketahui Indeks Keyakinan Konsumen per Maret 2021 untuk kelompok pengeluaran diatas Rp 5 juta meningkat lebih tinggi yakni level 100,8 atau sudah optimistis. Kelompok ini lebih tinggi IKK nya dibandingkan pengeluaran terbawah yang baru 90,1.
"Terbukti juga dari indeks pembelian barang tahan lama (durable goods) kelompok pengeluaran teratas sudah di level 84,1 di Maret 2021. Paling tinggi dibanding kelompok lainnya," imbuhnya.
Baca Juga: Inflasi bulanan April 2021 diproyeksi sekitar 0,16%, berikut faktor pemicunya
Bhima menerangkan, porsi pengeluaran konsumen kelompok atas dinilai sudah menurun untuk tabungan dari 20,8% dari total pengeluaran di November 2020 menjadi 16,2% pada Maret 2021. Artinya sebagian uang sudah mulai dibelanjakan atau mencapai 68,4% dari total konsumsi.
Meskipun belum merata di semua segmen masyarakat, namun indikasi pemulihan ekonomi memang berlangsung.
"Inflasi April secara umum masih relatif rendah dibandingkan pra Covid-19 dimana April 2019 tercatat inflasi bulanan sebesar 0,44%. Tapi lebih baik dari Maret karena faktor seasonal ramadan," tuturnya.
Faktor utama permintaan masyarakat masih rendah menurut Bhima, lantaran sebagian mengantisipasi pelarangan mudik lebaran dengan lebih banyak berhemat dan menunda belanja. Misalnya pembelian baju atau fesyen justru menurun. Daya beli masih rendah juga karena pemulihan pendapatan masyarakat tidak merata.
Sektor komoditas perkebunan dan pertambangan sudah ada perbaikan harga jual, tapi di sektor lain seperti pariwisata, jasa transportasi kondisinya masih menurun.
"Jadi pola pemulihan ekonomi bukan huruf V tapi huruf K dimana ada sektor yang cepat pulih ada yang masih resesi secara berlanjut," ujarnya.
Berkaca pada hal tersebut, Bhima menerangkan solusi untuk perbaikan sisi permintaan dapat dilakukan dengan bauran kebijakan insentif pajak dan bansos. Dengan adanya insentif perpajakan seperti PPN yang ditanggung pemerintah untuk sektor retail diharapkan mampu naikan konsumsi kelas menengah dan atas.
Kemudian harga jual barang di konsumen akhir akan memicu masyarakat belanja lebih banyak lagi. Bauran berikutnya adalah memperbesar cakupan bansos. Bansos dinilai penting bagi kelompok pengeluaran 40% terbawah juga kelas menengah yang rentan miskin.
Namun Bhima menambahkan baiknya untuk bansos ditambah dengan alokasi bansos tunai ke kelas pekerja yang gajinya rendah atau ke pekerja yang terancam hilang pendapatan, seperti di sektor transportasi selama pelarangan mudik.
"Banyak supir bus misalnya yang upahnya harian atau dihitung per trayek. Kalau mudik dilarang pastinya mereka menganggur. Itu yang perlu dibantu dulu," jelasnya.
Sementara itu untuk wacana adanya subsidi ongkos kirim (ongkir), harus mampu dilaksanakan secara tepat sasaran. Dimana Bhima menggarisbawahi subsidi ongkos kirim tersebut tidak diperuntukkan bagi start up atau bahkan ongkir barang impor.
"Lebih baik disiapkan dulu mekanisme pendataan dan pengawasan agar tepat sasaran," jelasnya.
Selanjutnya: Ekonom Bank Mandiri proyeksi inflasi bulanan April 2021 meningkatkan ke level 0,16%
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News