kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45923,49   -7,86   -0.84%
  • EMAS1.319.000 -0,08%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Ekonom Celios Sesalkan Penerapan Pajak Karbon Diundur, Ini Alasannya


Minggu, 16 Oktober 2022 / 20:31 WIB
Ekonom Celios Sesalkan Penerapan Pajak Karbon Diundur, Ini Alasannya
ILUSTRASI. Pajak.


Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah telah dua kali menunda penerapan pajak karbon (carbon tax), terakhir penerapan pajak karbon yang sedianya diterapkan pada Juli tahun 2022 kembali ditunda. Penundaan ini menjadi yang kedua kalinya pada tahun 2022.

Sejatinya, pajak karbon bakal diterapkan pada April 2022. Namun, kebijakan itu ditunda dan rencananya bakal berlaku pada Juli 2022. Sayangnya, kebijakan ini kembali molor hingga di tahun 2025 nanti.

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyayangkan keputusan pemerintah yang kembali menunda implementasi pajak karbon.

Pasalnya pajak karbon dari sisi tarif Indonesia termasuk yang paling rendah di dunia, idealnya pajak karbon yang diterapkan ke Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) tidak berdampak terhadap harga jual listrik ke tingkat konsumen.

Baca Juga: Penerapan Pajak Karbon Mundur ke Tahun 2025

"Keputusan menunda pajak karbon sangat disesalkan," ujar Bhima kepada Kontan.co.id, Minggu (16/10).

Padahal menurutnya, penerapan pajak karbon juga dapat menjadi insentif bagi PT PLN untuk mengembangkan sumber energi terbarukan (EBT).

Logika dari kebijakan pajak karbon adalah memungut pajak dari penyumbang emisi karbon kemudian hasil dananya dikembalikan ke sektor yang bisa menurunkan emisi karbon.

"Dilihat dari logika tadi yang untung dari pajak karbon justru pembangkit EBT termasuk PLN dengan catatan ada realisasi pembangunan EBT yang masif dari PLN," katanya.

Oleh karena itu, dengan mundurnya penerapan pajak karbon, Bhima menilai bahwa pemerintah belum konsisten dalam mendorong mitigasi perubahan iklim.

Pasalnya, langkah penerapan pajak karbon juga sejalan dengan upaya mempercepat pensiun dini PLTU batubara, dan sebagai upaya dalam mengejar target net zero emission pada 2060.

"Kenapa tidak diterapkan saja secepatnya? Ini yang kami heran. Apakah pemerintah khawatir tekanan dari pengusaha batubara yang merasa dirugikan dengan adanya pajak karbon?," tanya Bhima.

Baca Juga: Hadapi 5 Tantangan, Menko Perekonomian Menilai Ekonomi Indonesia Masih Solid

Mengutip Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) Pasal 13, pemerintah menetapkan besaran tarif pajak karbon paling rendah adalah Rp 30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara.

Sebelumnya, pemunduran implementasi pajak karbon sempat disinggung oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto belum lama ini. Ia mengatakan, pemerintah akan mulai mengimplementasikan penerapan pajak karbon mulai tahun 2025 mendatang. Sayangnya, Airlangga tidak mengatakan alasan dibalik penundaan tersebut.

"Salah satu yang dapat diterapkan di awalm adalah perdagangan karbon maupun pajak karbon yang ditargetkan akan berfungsi pada 2025," ujar Airlangga dalam acara Capital Market Summit & Expo 2022, Kamis (13/10).

Saat ditanya alasan pemunduran tersebut, Staf Khusus Menteri Keuangan Masyita Crystallin masih enggan berkomentar . Pasalnya, pertanyaan yang diberikan Kontan.co.id kepada dirinya melalui pesan WhatsApp masih belum dibalas hingga berita ini diterbitkan.

Baca Juga: Menteri ESDM Sebut Pelaksanaan Pajak Karbon Harus Dievaluasi kembali

Namun yang pasti, belum lama ini Masyita mengatakan bahwa pemerintah terus menyiapkan mekanisme transisi energi. Salah satu upayanya adalah dengan menyusun roadmap yang berkaitan dengan transisi energi. Setidaknya, ada tiga roadmap yang kan diterbitkan yakni roadmap transisi energi, roadmap pasar karbon, dan juga roadmap pajak karbon.

"Jadi untuk roadmap, roadmap carbon tax tidak bisa berdiri sendiri dari roadmap energy transisition dan roadmap carbon market, karena dia akan bicara barang yang sama," kata Masyita dalam HSBC Summit 2022 Powering The Transisition to Net Zero, Rabu (14/8).

Ketua Komite Analisis Kebijakan Ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Ajib Hamdani juga menyangkan adanya pemunduran implementasi pajak karbon ini.

Pasalnya, apabila pemerintah konsisten dengan isu besar untuk transisi energi dan program global yang ramah lingkungan, maka pemerintah harus mempercepat pengenaan pajak karbon.

Apalagi pajak karbon ini sudah menjadi amanat UU HPP, yang seharusnya pajak karbon ini dikenakan bersamaan dengan kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 10% menjadi 11% pada tanggal 1 April 2022.

Baca Juga: Bahlil Sebut Ada Standar Ganda dalam Perdagangan Karbon di Negara Berkembang dan Maju

"Ketika pemerintah konsisten menaikkan tarif PPN yang menjadi beban seluruh masyarakat justru akan jadi pertanyaan ketika pemerintah tidak segera mengenakan pajak karbon, karena dua kebijakan ini mempunyai aturan hukum yang sama," kata Ajib kepada Kontan.co.id, Minggu (16/10).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×