Reporter: Ghina Ghaliya Quddus | Editor: Sanny Cicilia
JAKARTA. Nanti malam (20/1), seluruh dunia bakal tertuju pada pelantikan dan sumpah jabatan Donald Trump sebagai Presiden AS ke-45. Beberapa kursi di kabinet Trump masih lowong. Sementara sejumlah nama yang sudah mengantongi izin Senat AS.
Eric Alexander Sugandi, Chief Economist SIGC (SKHA Institute for Global Competitiveness) mengatakan, melihat dari pemilihan menteri dalam kabinetnya yang kebanyakan petinggi di korporasi, kemungkinan kebijakan Trump akan lebih pro bisnis.
Meski di negara lain seperti Meksiko, China, dan negara emerging lainnya cenderung tidak disukai, korporasi di Negeri Paman Sam memiliki ekspektasi kepada Trump.
"Trump sendiri cenderung pada tipe pemimpin yang negosiator. Ia berusaha menunjukkan bahwa AS dapat mendominasi," kata Eric.
Dengan kemungkinan tersebut, Eric melihat, perhatian AS akan lebih tertuju pada China dan Meksiko. Indonesia, memang bukan negara yang signifikan dibidik AS. Namun, kebijakan proteksionisme perdagangan AS akan berdampak Indonesia secara langsung maupun tak langsung.
Dampak langsungnya, AS merupakan salah satu negara tujuan utama ekspor Indonesia, khususnya sektor manufaktur. Oleh karena itu, Eric melihat bahwa memberlakukan standar mutu dan lingkungan kepada produk-produk negara lainnya termasuk Indonesia.
Sementara efek tidak langsungnya adalah dari perekonomian China. Bila ekonomi China semakin melambat akibat kebijakan Trump, maka akan ada pengaruh terhadap ekspor batubara Indonesia ke negara Tirai Bambu tersebut.
Ekonom Samuel Asset Management Lana Soelistianingsih juga berpendapat demikian. Menurutnya, jika Trump tidak proteksionis, hal tersebut akan bagus karena ekspansi fiskal tetap bisa tumbuh.
"Tetapi, tumbuhnya AS juga akan berdampak postif ke China. Jika China positif, Indonesia juga bisa positif. Tetapi bila China ambruk, Indonesia juga bisa ambruk. Seperti domino effect," kata Lana kepada KONTAN, Kamis (18/1).
Tetap ada kemungkinan Trump akan proteksionis seperti yang dikhawatirkan dunia. Namun, hal itu belum tentu benar-benar dilakukan.
"Bila dilihat dari karakter kabinetnya, hal yang dikhawatirkan selama ini soal kebijakan-kebijakan ekonomi Trump yang kontroversial kemungkinan tidak akan terjadi," kata Lana.
Lebih jauh lagi, menurut Lana, apabila China menghadapi perhambatan perdagangan, maka China mau tidak mau harus cari pasar baru. Sementara, kontribusi perdagangan China termasuk besar di Indonesia. Hal ini kemudian akan mendorong Indonesia menerima lebih banyak barang dari China.
“Tetapi daya serap Indonesia tidak sebesar AS untuk menyerap barang China, sehingga mungkin China akan mengerem produksinya. Maka ketika itu terjadi, mereka rem penggunaan komoditas sementara komoditas batubaranya adalah dari Indonesia,” jelasnya.
Fiskal AS dan bunga Fed
Lana mengatakan, Trump baru bisa menggunakan budget-nya sendiri pada Oktober 2017, sehingga mungkin dampak dari kebijakannya bakal terasa di 2018.
“Selama 2017, Trump masih pakai budget Obama. Mungkin, itu tidak bisa mendongkrak pertumbuhan 3,5% yang ia harapkan, sehingga mungkin orang akan kecewa,” ucapnya.
Dari sisi bank sentral AS, Federal Reserve (The Fed), kemungkinan 2017 menjadi momen untuk menaikkan suku bunga lebih cepat karena apabila tidak, maka akan membawa tekanan yang besar.
“2018 nanti akan ada efek fiskal yang bisa membawa kenaikan suku bunga. Bila kemudian The Fed menaikkan suku bunga, maka akan ada double punch dari fiskal dan moneter. Apakah ekonomi AS siap? Dugaan saya, untuk menetralkan efek fiskal, 2017 Fed akan mempercepat, sementara 2018 akan flat,” katanya.
Adapun menurut Eric, terlepas dari siapa yang terpilih pada pilpres AS kemarin, The Fed sudah memberi arah akan ada kenaikan suku bunga.
“Saya pikir Fed akan naik siapapun yang terpilih. Namun, mungkin Fed akan punya alasan yang lebih kuat untuk menaikkan suku bunga,” ucapnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News