Reporter: Margareta Engge Kharismawati | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Dalam dua bulan pertama tahun ini, jumlah utang luar negeri (ULN) Indonesia melonjak cukup tinggi. Berdasarkan data Bloomberg, data ULN dalam bulan Januari dan Februari 2014 bertambah US$ 7,2 miliar. Rinciannya, pemerintah US$ 4 miliar yang berasal dari penerbitan global bond pada awal tahun dan utang swasta US$ 3,2 miliar.
Utang swasta terbesar datang dari perusahaan taipan milik Chairul Tanjung atau yang dikenal dengan panggilan CT. Pemilik CT Corporate ini tercatat memiliki utang mencapai US$ 2,9 miliar dari sindikasi perbankan.
Jika ditarik ke belakang, ULN sektor swasta terus meningkat porsinya. Berdasarkan data yang dirilis Bank Indonesia (BI), porsi utang swasta di 2013 mencapai 53,21% atau naik menjadi US$ 140,51 miliar. Sebelumnya di 2012, porsi utang swasta US$ 126,25 miliar atau sebesar 50% dari total utang.
Ekonom Samuel Asset Manajemen Lana Soelistianingsih melihat, adanya kenaikan pada utang sektor swasta merupakan hal yang sah-sah saja. Namun, Bank Indonesia (BI) dan pemerintah harus waspada kalau ada perusahaan yang pendapatannya dalam rupiah lalu berutang dalam dollar.
Lana bilang, apabila perusahaan yang pendapatan dan utangnya sama-sama dalam dollar tidak jadi masalah karena sudah terjadi hedging alias lindung nilai secara alamiah. Swasta harus punya hedging untuk mengamankan risiko dari nilai tukar.
Di sisi lain harus ada batasan seberapa besar perusahaan swasta bisa berutang. "3x dari modal yang dia punya. Tidak bisa lewat," ujar Lana, Rabu (5/3). Jika batasan itu terlewati, dikhawatirkan utang tadi akan berada di luar kontrol perusahaan. Sebab, utang di luar bank tidak ada yang mengatur.
Tidak cukup itu. Menurut Lana, seharusnya swasta mempunyai deposit valuta asing (valas) dalam negeri sebesar 3x lipat dari bunga dan cicilan pokok. Kalau ada kondisi krisis di dalam negeri maka deposit tersebut menjadi jaminan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News