Reporter: Riendy Astria | Editor: Djumyati P.
JAKARTA. Kementerian Kesehatan berjanji bahwa tahun ini akan menyelesaikan aturan tentang pemberian resep obat oleh dokter. Aturan ini dibuat agar dokter tidak berlebihan dalam melakukan promosi obat, terutama obat keras seperti antibiotik.
Peraturan yang dibuat itu sebenarnya bukan peraturan yang rinci, namun Kementerian Kesehatan menetapkan aturan yang menuntut para dokter untuk mengikuti suatu standar. “Standar itu sudah ada sebenarnya, standar profesi kedokteran. Jadi aturan itu seperti mengajak dokter ikut standar yang ada. Jangan sampai berlebihan dalam memberikan resep, jadi jika batuk atau flu berilah obat yang sesuai, jangan terlalu banyak memberi antibiotik,” ujar Kepala Biro Hukum Kementerian Budi Sampoerno kepada Kontan.
Budi mengatakan bahwa aturan ini akan selesai tahun ini. Diharapkan, promosi obat keras termasuk antibiotic jangan sampai berlebihan. Hal ini untuk mencegah terjadinya peresepan obat yang akan merugikan pasien. “Kita usahakan tahun ini selesai, sekarang standarnya sedang dikaji lagi,” tutur Budi.
Staf Khusus Menteri Bidang Politik Kebijakan Kesehatan Kementerian Kesehatan Bambang Sulistomo mengatakan bahwa aturan ini merupakan prosedur untuk mengingatkan dokter. “Agar dokter tidak kebablasan. Kan sudah ada kode etik dokter, para dokter juga sudah pada tahu, mereka mengerti lah, aturan ini hanya untuk mengingatkan,” jelas Bambang.
Sementara Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Prijo Sidipratomo mengatakan bahwa Dokter memiliki otonomi dalam memberikan resep obat kepada pasien, jadi tidak bisa diatur oleh aturan pemerintah. “Dokter itu memiliki otonomi untuk memberikan resep obat, kalau isi aturannya hanya mengimbau dokter agar mengikuti standar profesi kedokteran, ya tidak apa, asal jangan mengatur isi resep saja,” kata Prijo.
Lebih lanjut Prijo mengatakan bahwa para dokter sudah mengerti dan paham mengenai standar profesi kedokteran sehingga sebenarnya tidak perlu diingatkan. Memang ada dokter yang melakukan pemberian resep obat dengan antibiotik berlebihan dan tertuju pada perusahaan farmasi tertentu, namun itu sangat sedikit. “Ya memang ada dokter yang melakukan itu, memberikan resep obat antibiotik agar mendapat persenan dari perusahaan farmasi, tapi itu jumlahnya sangat sedikit, tidak bisa digeneralisasikan,” tambahnya kemudian.
Menurut Prijo, kalau masalahnya adalah konsumsi antibiotik yang berlebihan, itu tidak bisa menyalahkan dokter lantaran obat antibiotik itu dijual bebas di pasaran. “Kalau aturan ini adalah langkah dari ketakutan pemerintah bahwa dokter akan memberikan resep obat yang berlebihan sehingga akan merugikan pasien, ini salah, coba lihat di Pasar Pramuka, antibiotik dijual bebas, ini yang seharusnya dicegah. Antibiotik harusnya tidak dijual dengan bebas,” tandas Prijo kepada Kontan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News