Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Influencer dan content creator memiliki potensi besar mendatangkan tambahan penerimaan pajak sekaligus memperluas basis pajak.
Namun, Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak dinilai belum optimal memaksimalkan kontribusi dari sektor ini, meski jumlah kreator digital terus meningkat.
Berdasarkan data DJP yang diterima KONTAN, pada 2017 lalu pemerintah mendapatkan penerimaan pajak senilai Rp 27 miliar dari 51 pelaku social media influencer. Mereka ini termasuk vloger, youtuber dan selebgram.
Sayangnya, hingga saat ini belum diketahui seberapa besar peningkatan penerimaan pajak yang sudah didapatkan pemerintah dari para influencer dan content creator ini.
Baca Juga: Potensi Pajak Influencer dan Content Creator Cukup Besar, Tapi Belum Maksimal Digarap
Konsultan Pajak dari Botax Consulting Indonesia Raden Agus Suparman menyoroti pentingnya reformulasi pendekatan pajak terhadap pelaku ekonomi digital, khususnya konten kreator.
Ia menyebutkan, Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) seharusnya tidak menjadi hambatan dalam optimalisasi penerimaan pajak.
Menurutnya, KBLI atau sebelumnya dikenal sebagai KLU (Klasifikasi Lapangan Usaha) fungsinya hanya sebatas identifikasi kegiatan usaha wajib pajak, bukan sebagai dasar pemajakan.
"Memajaki wajib pajak tetap harus mengacu subjek dan objek yang diterima," ujar Raden kepada Kontan.co.id, Senin (9/6).
Raden merujuk pada Peraturan Dirjen Pajak Nomor 12/PJ/2022 yang salah satunya mengatur bahwa untuk kepentingan perpajakan, aktivitas atau kegiatan ekonomi wajib pajak dikelompokkan dalam KLU.
Ketentuan ini menegaskan bahwa KLU hanya sebatas pengelompokan kegiatan usaha wajib pajak.
Inkonsistensi Klasifikasi KBLI
Raden juga menyoroti inkonsistensi klasifikasi KBLI, khususnya terhadap profesi seperti influencer, buzzer, dan endorser yang dikategorikan dalam Jasa Informasi Daya Tarik Wisata (kode 79912).
Padahal, realitas di lapangan menunjukkan bahwa para endorser saat ini lebih sering mempromosikan produk komersial. Untuk itu, mereka mendapatkan penghasilan setelah melakukan promosi produk komersial.
Mantan pegawai Ditjen Pajak ini juga membagikan pengalamannya saat menjadi pengawas pajak dalam menghitung penghasilan YouTuber.
Ia menyebutkan dalam menghitung penghasilan Youtuber hanya bisa dilakukan dengan melihat akun Youtuber secara langsung.
Hanya saja, pendekatan berbasis aplikasi estimasi penghasilan sering kali tidak akurat. Hal ini disebabkan aplikasi tersebut digunakan di berbagai negara, dan banyak mengacu kepada perilaku penonton di Amerika Serikat (AS).
"Kenyataannya cara menonton Indonesia dengan Amerika Serikat berbeda. Selain itu, kabarnya tarif iklan di Indonesia lebih murah," jelas Raden.
Baca Juga: Crazy Rich Makin Sulit Berkelit dari Pajak
Permasalahan lain adalah ketidakjelasan dalam menentukan apakah penghasilan dari platform digital merupakan penghasilan kotor atau bersih.
Menurutnya, hal ini berimbas pada penerapan tarif Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 17 yang progresif, atau harus terlebih dahulu menghitung penghasilan neto dengan mengacu pada Pasal 16 UU PPh.
"Dalam kasus penghasilan Youtuber, biaya apa yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto? Ini sampai sekarang masih gray-area. Sebagian petugas berpendapat bahwa yang diterima dari Youtube tersebut penghasilan neto. Sehingga langsung dikalikan dengan tarif PPh. Tapi ada juga yang memperlakukan sebagai pekerja seni," jelas Raden.
Adapun kegiatan pekerja seni menurut Peraturan Dirjen Pajak nomor 17/PJ/2015 tentang Norma Penghitungan Penghasilan Neto sebesar 62,5%.
"Artinya, jumlah penghasilan dari Youtube dikalikan terlebih dahulu 62,5% baru dikalikan dengan tarif PPh Pasal 17," imbuhnya.
Pajak Final
Untuk menjawab ketidakpastian ini, Raden mengusulkan agar Ditjen Pajak menerapkan skema PPh final khusus bagi konten kreator digital. Ia menilai sistem final lebih realistis mengingat variatifnya biaya produksi konten, yang sulit dinilai secara seragam.
"Karena menghitung real biaya-biaya sebuah konten tidak dapat diseragamkan. Ada konten yang asal upload tapi ternyata ramai dan banyak viewer-nya. Padahal tidak melakukan editing. Tapi banyak juga konten kreator yang dibuat oleh tim kreator dengan editing lengkap tapi ternyata kurang viewer," jelasnya.
Di lain pihak, content creator juga tidak ada yang menyelenggarakan pembukuan, sehingga untuk menentukan penghasilan bersih yang sebenarnya sangat susah.
Raden juga mendorong Ditjen Pajak agar bekerja sama langsung dengan platform digital seperti YouTube, Meta, dan TikTok dalam melakukan pemotongan PPh final.
Jika platform digital tidak kooperatif, DJP bisa meminta Kementerian Kominfo untuk melakukan pemblokiran.
Baca Juga: Setoran Pajak Kanwil LTO Masih Jauh dari Target
Diberitakan KONTAN sebelumnya, Staf Ahli Bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal mengaku bahwa DJP telah melakukan pengawasan dan pemeriksaan terhadap para influencer hingga content creator terkait pelaporan perpajakannya.
Namun, keterbatasan klasifikasi data dan struktural sektoral membuat penarikan data penghasilan para influencer menjadi tantangan tersendiri.
"Apakah kemudian kita pernah melakukan pengawasan atau pemeriksaan terhadap para influencer? Saya bisa pastikan sudah pernah dilakukan juga, karena memang ada catatannya," ujar Yon dalam diskusi publik di Hotel Ashley Wahid Hasyim, Selasa (27/5).
Menurutnya, otoritas pajak memang memiliki tugas untuk memastikan apa yang dilaporkan dan disetorkan sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Hanya saja, identifikasi profesi influencer kerap kali tumpang tindih karena sesorang bisa berstatus sebagai ASN atau pegawai swasta, namun juga menjalani aktivitas sebagai influencer.
Hal ini menyulitkan proses pemetaan dan pelaporan secara spesifik. Apalagi, kata Yon, profesi influencer belum memiliki Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) tersendiri.
"Tapi kita tidak spesifik meng-address harus si influencer ini A, B, C. Karena setiap orang yang ditemukan datanya, kemudian ternyata berbeda dengan yang dilaporkan di SPT, tentu harus kita follow up. Follow up-nya itu ya bertahap, mulai dari soft dulu, kita lakukan verifikasi, klarifikasi, baru tindakan-tindakan yang lain," jelasnya.
Meski begitu, Yon menegaskan, prinsip perpajakan tetap berlaku secara umum, yakni sepanjang penghasilan di atas penghasilan tidak kena pajak (PTKP), maka tetap harus membayar pajak sesuai tarif yang berlaku.
"Apapun profesinya, ya mau pegawai negeri, pekerja, influencer, pengusaha, sepanjang omzet atau penghasilan dia di atas PTKP, ya bayar pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku dengan tarif yang ada," tegas Yon.
Selanjutnya: Mengurangi Sampah Plastik Sekali Pakai, Begini Langkah PT Elnusa Petrofin
Menarik Dibaca: Apakah Daging Kambing Bikin Darah Tinggi? Ini Faktanya
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News