kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Di Mentawai, relawan bak ayam kehilangan induknya


Senin, 01 November 2010 / 07:06 WIB
Di Mentawai, relawan bak ayam kehilangan induknya
ILUSTRASI. Tambang Emas Freeport


Reporter: Asnil Bambani Amri |

MENTAWAI. Ratusan relawan datang dan mampir setiap harinya ke pulau di barat Sumatera Barat yang dikenal dengan Mentawai itu. Memang tidak ada sambutan spesial bagi kedatangan relawan itu ke Mentawai, kecuali sebuah buku daftar relawan yang akan menyambut mereka saat turun dari pelabuhan Sikakap.

“Kami melapor dan kami dipersilahkan cari posko yang bisa digunakan,” kata Rachmat, Koordinator Yayasan Al Azhar Peduli Umat di Mentawai, Senin (1/11). Begitu juga dengan barisan relawan lainnya yang datang ke lokasi bencana di Mentawai. Setelah datang, tanda tangan, setelah itu diminta untuk mencari lokasi sendiri sebagai posko.

Tak heran, ada puluhan posko yang menyebar di Kec. Sikakap. Mulai dari halaman masjid, halaman kecamatan, lapangan bongkar muat pelabuhan hingga rumah penduduk dan halaman penduduk dan rumah dinas pelabuhan dipenuhi oleh posko relawan yang peduli atas penderitaan korban gempa dan tsunami di bumi Mentawai.

Catat saja, posko instansi yang berkepentingan seperti TNI, Polisi, Basarnas, PMI, Kementerian Sosial sampai dengan posko relawan dari perusahaan Badan Umum Milik Negara (BUMN) termasuk dari relawan dari media elektronik memadati pemukiman di Sikakap. Sontak, kecamatan yang dulunya tidak terlalu ramai itu dipadati dengan lalu-lalang ratusan relawan setiap harinya.

Mudah memang menjadi relawan yang datang ke Sikakap, karena hanya cukup mendaftar kemudian membubuhkan tandatangan di buku tamu yang disediakan oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Mentawai. Hanya setelah posko berdiri, koordinasi yang ditunggu tak kunjung diterima relawan seperti yang dialami Rachmat.

“Setelah 4 hari kami di sini, tidak pernah kami diundang untuk rapat untuk membahas pendistribusian bantuan,” terang Rachmat yang membawa logistik makanan dan minuman itu.

Akhirnya, Rachmat harus melakukan pemetaan sendiri dan mengupayakan sendiri untuk menyalurkan bantuannya. Padahal, Mentawai sulit dijangkau apalagi aksesnya hanya laut dan udara. “Awalnya mereka akan mengajak kami, ternyata setelah tiga hari tidak ada perkembangan,” katanya.

Tidak jauh berbeda, pendapat sama juga disampaikan oleh Gede Sudharta, Kooordinator Yayasan Idep yang memiliki masalah yang sama dengan relawan Al Azhar. Ia mengaku kecewa dengan manajemen bencana yang diterapkan oleh BPBD. “Seharusnya relawan tidak perlu menurunkan logistik bantuan ke Sikakap, tetapi bisa menyalurkan langsung ke lokasi bencana,” kata Gede.

Kondisi itu ternyata berdampak pada bantuan yang menumpuk di Sikakap, banyak posko relawan masih dipadati oleh bantuan bahkan juga posko bantuan TNI karena belum tersalurkan. “Bahkan bantuan dari SBY masih ada di dalam kapal,” kata Fitri Sidikha, tim komunikasi PMI Pusat ditemui KONTAN di poskonya.

Namun, tidak semua relawan yang menunggu komando untuk membawa bantuannya langsung ke daerah bencana, ada beberapa relawan yang mencoba membawa bantuan secara langsung ke lokasi bencana. “Yang langsung membawa bantuan itu adalah yang memiliki armada speed boat secara langsung,” kata Akhyar, koordinator logistik relawan dari Surf Aid, sebuah yayasan yang berasal Selandia Baru. Yayasan ini mengkoordinir kapal-kapal yang biasa membawa perselancar untuk membawa bantuan ke Mentawai.


Sering gagal salurkan bantuan


Dalam menyalurkan bantuan, Akhyar sama sekali tidak berharap koordinasi dengan BPBD dalam menentukan lokasi distribusi maupun mengenai cuaca yang akan mereka hadang. Mereka menyalurkan bantuan mengandalkan kemampuan navigasi kapal yang terkoneksi ke stelit untuk mencari lokasi yang membutuhkan logistik.

Kondisi itu berbeda dengan relawan dari Al Azhar yang berangkat menyalurkan bantuan ke lokasi tanpa bermodalkan navigasi satelit untuk mencari korban. Walaupun tidak mengetahui kondisi cuaca, mereka berharap BPBD melakukan koordinasi dengannya.

Namun, relawan dari Al Azhar akhirnya harus menyewa kendaraan bermotor hingga menyewa speed boat agar bisa menyalurkan bantuan ke lokasi bencana. Harga sewa untuk sebuah sepeda motor pun naik dari harga normal. “Biasanya sepeda motor hanya Rp 100 ribu, sekarang Rp. 200 ribu,” kata Sawaludin, warga Sikakap.

Begitu juga dengan sewa speedboat yang dulunya hanya Rp. 500 ribu sekarang harus membayar senilai Rp. 2 juta perharinya. Akibatnya, nilai bantuan itu akhirnya lebih besar untuk membayar speedboat yang tidak tersedia untuk membawa bantuan dari Sikakap. Kondisi itu, Ada kalanya, pengiriman bantuan kami sia-sia karena harus kembali akibat cuaca. “Sementara kami sudah terlanjur menyewa speed boat,” jelas Rachmat.

Namun, karena tidak mengetahui perkiraan cuaca, sering kali mereka harus balik kanan karena terhalang cuaca. “Indormasi kondisi cuaca saja kami tidak mendapatkannya dari BPBD,” jelas Rachmat yang ditemui setelah kembali dari lokasi karena gagal mencapai tujuan terkendala hujan dan gelombang tinggi.

Tidak hanya itu, relawan sering kali kecele karena bantuan yang dibawa ke lokasi bencana yang dituju ternyata sudah dibawa oleh tim relawan lainnya. Rachmat bilang, seringkali bantuan yang dibawa tidak tepat sasaran. Kalau sudah terjadi, maka terpaksa bantuan itu tetap diserahkan karena pertimbangan tingginya biaya transportasi.

Sementara itu, Humas BPBD Mentawai Pauli Sabel sat ditemui di kantornya memilih untuk tidak banyak komentar mengenai masalah ini. Menurutnya, pihaknya sedang bekerja semaksimal mungkin untuk membantu korban. “Kami masih menyelesaikan pekerjaan ini,” katanya ketika ditemui KONTAN di kantornya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU

[X]
×