Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sudah setahun pandemi virus corona berada di Indonesia, tapi pemerintah belum juga mengambil langkah signifikan dalam menekan konsumsi rokok di Indonesia. Padahal, berbagai studi telah menyebutkan korelasi erat antara konsumsi rokok dan Covid-19, meningkatkan risiko penularan dan memperberat komorbid pasien Covid-19.
Meski tren kasus Covid-19 di Indonesia turun, namun kematian akibat Covid-19 Indonesia masih yang tertinggi di Asia Tenggara. Terkait hal ini, Komnas Pengendalian Tembakau, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), dan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia menyampaikan pernyataannya dalam Konferensi Pers “Setahun Pandemi: Celah Regulasi yang Memperlambat Pemulihan COVID-19”
Hingga 28 Maret 2021, Satgas Covid mencatat sebanyak 1.501.093 Kasus Terkonfirmasi (+5.008 Kasus), 123.694 Kasus Aktif (8,2% dari Terkonfirmasi), serta 40.581 Meninggal (2,7% dari Terkonfirmasi).
Sejumlah 51% terkonfirmasi adalah perempuan, dan pada kelompok yang meninggal sebanyak 56,9% laki-laki dan 43,1% perempuan. Usia yang terkonfirmasi terbanyak berusia pada usia produktif 31-45 tahun 28,2% diikuti oleh usia 19-30 tahun sebanyak 25,2%.
Baca Juga: Kenaikan Cukai Tembakau dan HJE Rokok
Sementara Kasus meninggal tertinggi ada di usia lebih dari 60 tahun sebanyak 48,1% dan usia selanjutnya adalah 46-59 tahun dengan persentase sebesar 36,4%.
Seperti yang kita ketahui, konsumsi rokok adalah faktor risiko utama penyakit-penyakit tidak menular mematikan, yang di antaranya ternyata merupakan penyakit-penyakit penyerta pasien covid -19 tertinggi, yaitu hipertensi, kardiovaskular, paru kronis, dan kanker, yakni hipertensi sebesar 50,4%, diabetes melitus 35,3%, penyakit jantung sebanyak 17,6%, penyakit paru kronis 6,2%, beserta kanker sebesar 1,2%.
Pada diabetes melitus pun, rokok meningkatkan faktor risiko seseorang terkena penyakit Diabetes Mellitus Tipe 2. Zat adiktif nikotin dalam rokok dapat menyebabkan resistensi hormon insulin dan mengurangi respon pankreas untuk menghasilkan insulin.
Riskesdas 2018 menunjukkan, prevalensi penyakit tidak menular mengalami kenaikan jika dibandingkan dengan Riskesdas 2013, antara lain kanker, stroke, penyakit ginjal kronis, diabetes melitus, dan hipertensi. Prevalensi kanker naik dari 1.4% (Riskesdas 2013) menjadi 1,8% prevalensi stroke naik dari 7% menjadi 10.9% dan penyakit ginjal kronik naik dari 2% menjadi 3,8%.
Berdasarkan pemeriksaan gula darah, diabetes melitus naik dari 6.9% menjadi 8.5%; dan hasil pengukuran tekanan darah, hipertensi naik dari 25.8% menjadi 34.1%. Kenaikan prevalensi penyakit tidak menular ini berhubungan dengan pola hidup antara lain merokok. Sejak 2013, prevalensi merokok pada remaja (10-18 tahun) terus meningkat, yaitu 7.2% (Riskesdas 2013), 8.8% (Sirkesnas 2016), dan 9.1% (Riskesdas 2018).
Baca Juga: Pasca vaksin Covid-19, ini cara lansia meningkatkan daya tahan tubuh cegah corona
Berbagai riset di berbagai negara di seluruh dunia telah membuktikan bahwa terdapat hubungan erat antara perilaku merokok yang memperberat risiko penularan Covid-19 dan penyakit penyertanya. Penelitian yang dilakukan Komnas Pengendalian Tembakau (2020) dan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (2021) menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan konsumsi rokok di masa pandemi COVID-19.
“Data perokok dan COVID-19 per provinsi di Indonesia menunjukkan adanya peluang tingginya jumlah perokok akan diikuti dengan tingginya kasus COVID-19. Jika dibandingkan dengan beberapa Negara lain di Asia Tenggara, Indonesia memiliki prevalensi perokok tertinggi diikuti dengan jumlah kasus COVID-19 tertinggi,” jelas Ketua Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Agus Dwi Susanto, Rabu (31/3).
Melihat kaitan antara perilaku merokok dan Covid-19, hendaknya penanganan Covid-19 di Indonesia juga memperhatikan pengendalian konsumsi rokok, baik rokok konvensional maupun rokok elektronik, yang saat ini tak terbendung di Indonesia.
Baca Juga: Produksi IHT terus menurun, Gappri minta perhatian pemerintah
“Namun sayangnya, jangankan menjadi salah satu fokus bagian dari upaya penanganan Covid-19, pengendalian konsumsi rokok cenderung stagnan bahkan diabaikan. Untuk itu, YLKI mendesak Menkes agar segera memproses amandemen PP109/2012 untuk melindungi konsumen Indonesia,” ujar Tulus Abadi, Ketua Harian YLKI.
Di sisi lain, Tulus menyayangkan amandemen Peraturan Pemerintah No. 109 tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan yang merupakan regulasi penting dalam pengendalian konsumsi produk tembakau di Indonesia, yang tidak kunjung selesai proses revisinya.
Ketua Umum Komnas Pengendalian Tembakau,Hasbullah Thabrany, mengungkapkan bahwa pengendalian konsumsi rokok saat ini mendesak dilakukan.
Selanjutnya: Produsen rokok elektrik optimistis pasar akan pulih tahun depan
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News