kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45931,36   3,72   0.40%
  • EMAS1.320.000 -0,38%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Desa ini bersengketa tanah dengan ahli waris


Sabtu, 05 Januari 2019 / 10:00 WIB
Desa ini bersengketa tanah dengan ahli waris


Reporter: Dadan M. Ramdan | Editor: Dadan M. Ramdan

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sengketa kepemilikan tanah terutana di daerah masih kerap terjadi, bahkan berujung konflik. Salah satu penyebanya adalah pendataan kepemilikan tanah yang masih manual dan pengarsipan data pertanahan yang belum tersistemasi. Tak jarang informasi tanah hanya mengandalkan Letter C yang tidak jelas, sulit dibaca bahkan kesalahan penulisan dalam salinannya. Alhasil, menyulitkan pencarian nama maupun objek tanah. Di sisi lain, warga kurang memahami hak dan kewajibannnya terhadap tanah yang dimiliki.

Siti Hajati Hoesin, Pengabdi Utama pada Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat (DRPM) Fakultas Hukum  Universtitas Indonesia (FH UI) mengatakan, peningkatan akses perlindungan hukum terkait pertanahan kepada masyarakat sangat penting untuk mencegah sengketa pertanahan. Pasalnya, masih banyak warga yang kurang memahami aspek hukum pertanahan seperti kepemilikan tanah bersertifikat.

"Sebagian masyarakat masih berpikir dengan kepemilikan akta seperti akta jual beli (AJB) atau bahkan bukti pajak SPPT dan STTS PBB saja sudah cukup kuat sebagai bukti kepemilikan tanah," katanya kepada KONTAN, belum lama ini.

Celakanya, masyarakat juga merasa keberatan karena ada anggapan biaya pembuatan sertifikat tanah yang dirasa mahal, ditambah dengan adanya kutipan biaya dari desa sebesar 10% untuk setiap pembuatan akta peralihan hak atas tanah tersebut. Memang, saat ini, pemerintah menyediakan program gratis pembuatan sertifikat tanah, namun kebijakan tersebut belum menjangkau semua lapisan masyarakat. Artinya, tidak semua warga mendapat akses pembuatan sertifikat gratis tersebut.    

Atas dasar itu, FH UI mengisisiasi kegiatan penyuluhan hukum penyelesaian sengketa pertanahan di Desa Cisomang Barat, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, beberapa waktu yang lalu. Kegiatan ini merupakan lanjutan dari program sosialisasi dan pendampingan untuk membangun Sistem Informasi dan Manajemen Administrasi Pertanahan dalam Rangka Reformasi Agraria di Tingkat Desa (SIRAP–Desa) sejak tahun 2015 lalu. Adapun kegiatan ini merupakan bagian dari pengabdian masyarakat dari FH UI yang merupakan bentuk dari Tridarma Pendidikan Tinggi.

Menurur Siti, penyuluhan hukum yang diselenggarakan secara massal dalam bentuk kegiatan dan secara personal saat tim pengabdi datang ke rumah masing-masing maupun saat warga yang konsultasi langsung kepada anggota tim. Selanjutnya, tim dari FH UI merancang bangun sebuah sistem informasi administrasi pertanahan Desa Cisomang Barat.

"Dengan kegiatan peningkatan akses perlindungan hukum pertanahan, warga mendapatkan pengetahuan mengenai pentingnya bukti kepemilikan yang kuat berupa sertifikat dan memperoleh pengetahuan mengenai penyelesaian permasalahan tanah yang dialaminya," terang dia.

Kegiatan ini juga bertujuan untuk penertiban dan efisiensi tata kelola pertanahan di tingkat desa melalui pendekatan SIAP, penyuluhan dan pendampingan perangkat desa dan masyarakat agar melek hukum pertanahan. Kemudian, menginisiasi desa yang open data, transparan dan bersih, serta penyelesaian sengketa tanah yang terseleksi agar dapat dikelola dan atau dimanfaatkan dengan optimal.

Siti memberi contoh kasus pertanahan di Desa Cisomang Barat, yakni sengketa kepemilikan tanah antara warga dengan pihak desa, yang kini ditangani oleh pihak FH UI. Sekitar tahun 1941, seorang warga bernama Abdul memiliki tanah seluas 15 hektare di Desa Cisomang Barat tetapi tidak ada bukti kepemilikan yang sah.

Warga tersebut diketahui telah menikah dua kali. Dari pernikahan pertamanya memiliki satu orang anak dan empat orang cucu, sedangkan dari perkawinan keduanya yaitu dengan Emot tidak memiliki anak. Tetapi pada saat menikah dengan Abdul, Emot membawa dua orang anak dari perkawinan sebelumnya.

Kini, tanah tersebut menjadi sengketa antara desa bersama para penggarap dan ahli waris Emot. Menurut keterangan ahli waris, tanah tersebut telah dihibahkan kepada Emot. Sedangkan menurut keterangan desa, tanah tersebut merupakan tanah desa karena desa memberikan pinjaman kepada Abdul untuk melunasi utangnya dengan jaminan tanah sengketa tersebut.

Atas kasus tersebut, Siti menjelaskan, pihaknya sudah melakukan langkah-langkah fasilitasi antara lain mencari informasi mengenai sengketa tersebut dari hasil wawancara dengan para pihak, mengumpulkan bukti bukti berupa dokumen dokumen yang berkaitan, dan meminta batuan sub bidang pertanahan pada bidang tata pemerintahan, Pemerintah Kabupaten Bandung Barat untuk menyelesaikan sengketa tersebut. "Kami juga melakukan konsultasi dengan para pakar," jelasnya.

Lebih lanjut Siti menjelaskan, kasus sengketa lahan di atas hanya sebagian kecil akibat tidak tertibnya adminitrasi pertanahan. Untuk itu perlu dilakukan sosialisasi terkait pentingnya sertifikat tanah. FH UI sendiri mendukung program Badan Pertanahan Nasional dalam upaya sertipikasi nasional dan catur tertib pertanahan. Lewat cara ini, bisa mencegah sertifikat ganda, sertifikat fiktif, dan sengketa pertanahan lainnya.

"Sebagai bentuk pengabdian perguruan tinggi kepada masyarakat, kami terus berupaya mewujudkan pemerintahan desa yang lebih bersih dan transparan melalui open data, selain peningkatan atensi perguruan tinggi terhadap kawasan dan perbaikan mutu perencanaan dan pelaksanaan pembangunan daerah," tukas Siti.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×