kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45981,69   -8,68   -0.88%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Defisit BPJS Kesehatan tak perlu kejutkan pasien


Kamis, 30 November 2017 / 09:20 WIB
Defisit BPJS Kesehatan tak perlu kejutkan pasien


Reporter: Agus Triyono, Ramadhani Prihatini | Editor: Hasbi Maulana

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Peserta BPJS Kesehatan boleh lega. Wacana berbagi biaya pengobatan (cost sharing) yang mencuat menjadi polemik selama beberapa hari terakhir, batal menjadi ketentuan baru.

Para pasien sekaligus peserta BPJS Kesehatan tak perlu gelisah lagi berandai-andai memikirkan kelangsungan pengobatan atau perawatannya jika harus turut menanggung baisa pengobatan.
 
Fahmi Idris, Dirut BPJS Kesehatan, berjanji lembaga yang dia pimpin tetap akan menanggung 100% biaya perawatan penyakit katastropik.

"Tetap ditanggung seluruhnya oleh BPJS Kesehatan, tidak ada keputusan apapun soal itu," katanya di Komplek Istana Negara, Rabu (29/11).

Istilah katastropik dalam konteks ini merujuk pada beberapa jenis penyakit yang dianggap sebagai “bencana” oleh para penderitanya. Penyakit seperti itu selain mengancam nyawa pasien, juga mengancam ekonomi keluarganya karena saking mahal ongkos pengobatannya.

BPJS Kesehatan di DPR

Wacana berbagi beban biaya pengobatan antara BPJS Kesehatan dengan peserta terhadap beberapa jenis penyakit itu mencuat dari rapat Komisi IX DPR, Kamis (23/11) lalu.

Di depan anggota dewan, Fahmi mengungkapkan delapan penyakit yang ongkos pengobatannya mungkin ditanggung bersama antara BPJS Kesehatan dengan pasien. Penyakit-penyakit itu adalah sakit jantung, kanker, gagal ginjal, stroke, thalasemia, sirosis hati, leukimia, dan hemofilia.  

Rupanya, biaya pengobatan atas penyakit-penyakit “bencana” itu bukan hanya bisa membangkrutkan keuangan pasien, tetapi juga mengancam keuangan BPJS Kesehatan sendiri. 

Sekadar gambaran, selama 2016, klaim pengobatan yang harus ditanggung BPJS untuk pengobatan sakit jantung saja mencapai Rp 7,485 triliun.

Belum lagi dengan nilai klaim pengobatan kanker, gagal ginjal, stroke, thalasemia, sirosis hati, leukimia, dan hemofilia masing-masing Rp 2,35 triliun, Rp 2,592 triliun, Rp 1,288 triliun, Rp 485, 193 miliar, Rp 232, 958 miliar, Rp 183,295 miliar, dan Rp 119,64 miliar.

Total jenderal, klaim yang kudu ditanggung BPJS Kesehatan dari pengobatan penyakit-penyakit tersebut mencapai Rp 14, 692 triliun. Angka ini setara dengan 21,84% total biaya pelayanan kesehatan yang dikeluarkan BPJS Kesehatan pada 2016 lalu.

Sekadar gambaran, dana sebanyak itu hampir cukup untuk membiayai pembangunan jalur MRT dari Lebak Bulus ke Bundaran HI yang “hanya” butuh dana Rp 16 triliun.  

Defisit BPJS Kesehatan bagaimana?

Mencuatnya wacana cost sharing ini tak lepas dari ancaman terhadap kesehatan keuangan BPJS Kesehatan sendiri. Sejak berlaku Program Jaminan Kesehatan Nasional, kondisi keuangan BPJS Kesehatan tak bisa dibilang sehat.

Pada 2014, defisit keuangan BPJS Kesehatan mencapai Rp 3,3 triliun. Tahun 2015, defisit membengkak menjadi Rp 5,7 triliun. Lalu, tahun ini (2017), selama semeseter I saja BPJS Kesehata sudah defisit Rp 5,6 triliun.

Oleh sebab itu, batalnya wacana cost sharing tak otomatis menyelesaikan ancaman terhadap nyawa BPJS Kesehatan. Sayangnya, sampai tulisan ini naik ke server, belum ada kepastian solusi atas kondisi ini. 

Nila Moeloek, Menteri Kesehatan, mengatakan pemerintah masih akan menempuh sembilan langkah penyehatan keuangan BPJS Kesehatan yang telah ditetapkan dalam Rapat Koordinasi tentang Defisit BPJS Kesehatan di Kantor Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan beberapa waktu lalu.

Salah satu opsi yang muncul adalah melibatkan pemerintah daerah dalam pembiayaan program tersebut. Pemerintah daerah mungkin saja diminta menyumbang 10% dari APBD untuk turut mendanai program ini.

Pilihan lain adalah memanfaatkan dana perolehan cukai atas tembakau dan rokok. Namun, menurut Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar, jika pemerintah pusat mengambil opsi ini sebaiknya dengan cara langsung memotong pemasukan cukai sebelum disetoirkan ke pemerintah daerah (pemda).

"Kalau itu diserahkan ke Pemda belum tentu disiplin dibayarkan. Iuran Jamkesdanya saja banyak yang menunggak," ujar Timboel kepada Kontan.co.id, Rabu (29/11).

Ilustrasi Iuran BPJS Kesehatan

Opsi tak populer untuk menaikkan iuran peserta BPJS Kesehatan, sambung Timboel, juga masih bisa diambil asalkan nilainya tak perlu naik hingga setinggi nilai keekonomian yang disarankan.

Pemerintah sendiri tampaknya juga menyiapkan solusi yang lebih konkret. Direktur Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Direktorat Jenderal (Ditjen) Anggaran Kementerian Keuangan Kunta Wibawa Dasa Nugraha bilang pemerintah akan mengalokasikan Rp 3,6 triliun, diambil dari pos belanja lain-lain di APBN-P 2017.

"Opsi-opsi sudah ada, tapi masih didiskusikan lebih lanjut," kata Dirjen Anggaran Kemkeu Askolani, pada kesempatan lain. 

Seperti yang sudah-sudah, soal defisit tahunan kali ini hampir pasti akan teratasi juga. Namun demikian, pemerintah dan BPJS Kesehatan perlu mencari solusi yang lebih permanen, bukan lagi improvisasi sesaat. 

Para peserta BPJS yang mungkin sedang terbaring sakit tidak seharusnya ikut terkejut-kejut saban menjelang akhir tahun gara-gara alarm defisit BPJS Kesehatan berdering.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×