Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Kemampuan otoritas pajak dalam memungut pajak pertambahan nilai (PPN) atau pajak konsumsi terus melemah dalam lima tahun terakhir.
Berdasarkan hitungan KONTAN, hingga kuartal III-2023, rasio daya serap pajak atas konsumsi atau VAT Gross Collection tercatat hanya 45,2%, menjadi yang terendah sejak masa pandemi Covid-19 pada 2020.
Secara historis, VAT Gross Collection sempat melonjak pada kuartal III-2022 menjadi 61%, sebelumnya pada 2021 anjlok ke level 46,2%.
Namun, setelah mencapai puncak pada periode yang sama di 2022, rasio tersebut terus merosot meski konsumsi masyarakat tumbuh stabil di kisaran. Misalnya pada kuartal III-2023 menjadi 59,1%, kuartal III-2024 menjadi 55,7%, dan kini turun lagi menjadi 45,2%.
Baca Juga: Tolak Kenaikan UMP di Bawah 6,5%, Partai Buruh dan KSPI Ancam Mogok Nasional
Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menilai bahwa tren tersebut terutama terlihat pada kinerja Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang bersifat procyclical, yakni menguat saat ekonomi tumbuh dan melemah ketika ekonomi melambat.
"Makanya besaran VAT Gross Collection berkorelasi dengan pertumbuhan ekonomi," ujar Fajry kepada Kontan.co.id, Kamis (13/11/2025).
Menurutnya, karakteristik tersebut terjadi karena sebagian besar aktivitas ekonomi Indonesia tidak termasuk dalam objek PPN.
Sektor yang tidak dikenai PPN, seperti usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), justru tergolong lebih tangguh di tengah pelemahan ekonomi.
"Sebagian besar ekonomi yang tidak kena PPN itu cenderung resilient, yaitu usaha kecil dan mikro. Bahkan, kalau ekonomi sedang menurun seperti sekarang, malah terjadi peralihan ke UMKM," kata Fajry.
Baca Juga: Defisit APBN 2026 di Atas Batas Aman, Begini Kata Ekonom
Ia menambahkan, pesatnya arus digitalisasi juga mempercepat peralihan usaha dari model brick and mortar (fisik) ke digital, yang justru semakin menyulitkan otoritas pajak dalam melakukan pengawasan.
"Ketika ekonomi melemah pun, e-commerce mampu tumbuh double digit. Apalagi pelaku usaha UMKM yang berjualan di e-commerce cuma reseller produk China. Makin hancur basis pajak kita," jelasnya.
Untuk memperbaiki kondisi tersebut, Fajry menilai pemerintah perlu melakukan perluasan basis pajak.
Beberapa opsi kebijakan yang bisa dipertimbangkan antara lain mengurangi objek yang mendapat fasilitas PPN dan menurunkan ambang batas Pengusaha Kena Pajak (PKP) PPN. Namun, ia mengingatkan langkah tersebut perlu memperhatikan risiko politik dan kondisi ekonomi masyarakat.
Baca Juga: Defisit APBN 2026 di Atas Batas Aman, Begini Kata Ekonom
Salah satu solusi yang dinilai paling realistis adalah memperluas pemungutan PPN oleh platform marketplace.
Kendati demikian, ia menilai penerapan PPN Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) saat ini masih belum optimal karena cakupannya masih terbatas, seperti jasa digital dari luar negeri.
"Sedangkan jasa dan barang di dalam negeri belum masuk dalam cakupan. Padahal, sebagian besar dari ekosistem digital kita justru jual-beli atas jasa dan barang di dalam negeri," katanya.
Selanjutnya: Sinopsis Film Sampai Titik Terakhirmu, Kisah Nyata Tentang Cinta Sejati
Menarik Dibaca: Promo The Body Shop Diskon s/d 70% Segera Berakhir, Berlaku sampai 15 November 2025
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News













