Reporter: Ratih Waseso | Editor: Noverius Laoli
Namun, Pratama menegaskan, perlu adanya digital forensik lebih jauh untuk mengetahui dimana celah keamanan yang dieksploitasi peretas.
Di Indonesia sendiri pengamanan data pribadi belum mendapatkan payung hukum yang memadai. Indonesia sangat membutuhkan Undang-Undang (UU) Perlindungan Data Pribadi (PDP) yang isinya tegas dan ketat seperti di Eropa.
"Ini menjadi faktor utama selama pandemi banyak peretasan besar di tanah air, yang menyasar pencurian data pribadi, sebelumnya ada Tokopedia yang bocor 91 juta lebih data usernya," jelasnya.
Baca Juga: Kadin dan BMW Indonesia teken kerjasama paket khusus untuk anggota
Adapun aturan yang dipakai saat ini ialah Permen Kominfo No.20 tahun 2016, dimana diatur bila ada sengketa terhadap perlindungan data pribadi hukumannya hanya berupa peringatan lisan dan tertulis, penghentian sementara kegiatan Penyelenggara Sistem Transaksi Elektronik (PSTE) dan ancaman akan diumumkan ke publik lewat website.
Ancaman hukuman tersebut, dinilai tidak bisa memaksa para PSTE ini untuk menghadirkan sistem yang aman dengan teknologi terkini dan SDM terbaik dalam mengelola data masyarakat yang dihimpun.
"Jadi aturan yang tidak tegas membuat sistem informasi di tanah air ini sering menjadi bulan-bulanan. Bahkan sistem informasi milik instansi negara yang lemah sering menjadi tempat latihan bagi para script kiddies atau peretas pemula," ungkap Pratama.
Selanjutnya: 5 Pemimpin dengan penanganan Covid-19 terburuk di dunia, siapa saja?
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News