Reporter: Nurtiandriyani Simamora | Editor: Tri Sulistiowati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Muhammad Tito Karnavian mengungkapkan, pihaknya sudah menelusuri lebih dalam terkait dengan dana Pemerintah Daerah (Pemda) yang menumpuk di perbankan, dan menyebut dana tersebut tak sebesar dari yang dilaporkan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang bersumber dari data Bank Indonesia.
Menurut Tito, terdapat banyak ketidakselarasan periode waktu dan juga penginputan data di sistem Bank Sentral maupun Pemda. Ia mencontohkan seperti yang terjadi di Jawa Barat pada data periode hingga September tercatat dana mengendap sebesar Rp 4,1 triliun. Namun sebenarnya dana Pemda hanya Rp 3,8 triliun, dan sisanya Rp 300 miliar merupakan dana Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) seperti rumah sakit dan lainnya.
Setelah ditelusuri, data tersebut berbeda dengan data terkini yang dimiliki Pemda Jawa Barat dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), dimana jumlah dana yang mengendap di perbankan hanya Rp 2,7 triliun.
Baca Juga: Pidato di KTT APEC 2025, Prabowo Sampaikan Soal Ini
"Jadi otomatis beda karena waktunya berbeda, uangnya sudah terbelanjakan sebagian," ungkap Tito saat ditemui dalam acara FEKDI 2025 di Jakarta Convention Center, Jakarta, Jumat (31/10/2025).
Tito melanjutkan, perbedaan data juga terjadi pada total dana mengendap di perbankan versi laporan Kementerian Keuangan yang bersumber dari data Bank Indonesia, berbeda dengan data Kemendagri.
Dari Laporan Kemenkeu yang bersumber dari data Bank Indonesia, total dana mengendap milik Pemda di Perbankan mencapai Rp 233 triliun hingga September, sementara yang tercatat di data Kemendagri sebesar Rp 215 triliun, dikarenakan Rp 18 triliunnya sudah terpakai atau dibelanjakan oleh Pemda.
"Jangan salah ya, jumlah daerah itu kan jumlahnya 512. Ada 38 Provinsi, 98 Kota dan 416 Kabupaten. Jadi Rp 18 triliun dalam waktu 1 bulan berbeda itu sangat mungkin sekali " ungkap Tito.
Lebih lanjut Tito menjelaskan, perbedaan data juga terjadi akibat kesalahan input dari pihak perbankan daerah (BPD). Salah satu contoh ditemukan di Kota Banjarbaru, Kalimantan Selatan.
“Waktu diekspos, tercatat Rp 5,1 triliun. Setelah kami telusuri, ternyata anggarannya hanya Rp 1,6 triliun. Rupanya BPD Kalimantan Selatan meng-input dana simpanan provinsi sebagai milik Kota Banjarbaru. Jadi otomatis di BI tercatat punya kota itu, padahal milik provinsi,” jelasnya.
Kasus serupa juga ditemukan di Telawut, Sulawesi Utara. Berdasarkan data awal, daerah tersebut tercatat memiliki dana mengendap Rp 2,6 triliun, padahal Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)-nya hanya sekitar Rp 800 miliar.
“Setelah dicek, ternyata kesalahan input kode daerah oleh BPD Kalimantan Tengah. Kode daerah Telawut dimasukkan ke pelaporan rekening BI milik Kabupaten Barito Utara, yang memang memiliki dana Rp 2,6 triliun,” ujar Tito.
Ia pun menuturkan dengan nada bercanda bahwa saat dirinya mengonfirmasi langsung ke Bupati Telawut, sang bupati hanya bisa tersenyum.
“Bupatinya bilang, ‘Kalau bisa Pak Mendagri, Rp 2,6 triliun itu beneran jadi punya kami saja.’ Tapi tentu saja itu salah input,” kata Tito.
Menurut Tito, cukup banyak kasus serupa yang merupakan kelalaian atau salah input data. Hal ini menunjukkan perlunya peningkatan akurasi dan sinkronisasi data antara Pemda, BPD, dan Bank Indonesia agar tidak menimbulkan kesalahpahaman publik mengenai dana daerah yang mengendap di bank.
Baca Juga: Prabowo Dorong Pemberdayaan UMKM dan Kerja Sama Lawan Kejahatan Lintas Batas di APEC
Selanjutnya: Tak Terpakai di Madrid, 5 Klub Ini Berpeluang Jadi Rumah Baru Endrick
Menarik Dibaca: Kawasan Tangerang Makin Diminati Investor, Park Serpong Catat Penjualan 12.000 Unit
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


/2025/03/04/1776111425.jpg) 
  
  
  
 










