kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.326.000 0,53%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Dalam hal meningkatkan investasi, Indonesia tertinggal jauh dari Vietnam & Thailand


Senin, 24 Juni 2019 / 19:30 WIB
Dalam hal meningkatkan investasi, Indonesia tertinggal jauh dari Vietnam & Thailand


Reporter: Grace Olivia | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Berbagai upaya dan langkah kebijakan digodok pemerintah untuk mendorong daya saing Indonesia, terutama dalam hal mendorong ekspor dan meningkatkan investasi di dalam negeri. Sebab, kian hari Indonesia terus berpotensi ditinggal lari oleh negara-negara tetangga yang melesat pertumbuhan investasinya seperti Vietnam dan Thailand. 

Hasil survey Bloomberg terhadap investor baru-baru ini mengamini hal tersebut. Survei yang digelar pada ASEAN Business Summit (ABS) 2019 tersebut menunjukkan, 41,3% investor responden meyakini Vietnam sebagai negara yang paling menunjukkan kemajuan dalam iklim bisnis secara keseluruhan.

Adapun, 19,6% investor responden memilih Thailand. Sementara, hanya 17,4% investor responden yang meyakini iklim Indonesia menjadi yang paling baik di ASEAN dalam lima tahun ke depan. 

Tak hanya itu, kuartal pertama tahun ini, Vietnam berhasil mencatatkan pertumbuhan investasi asing langsung (FDI) tertinggi sejak 2015 silam dengan nilai sekitar US$ 16,7 miliar. Pertumbuhan FDI Thailand bahkan melesat 253% dibandingkan kuartal pertama tahun lalu, dengan nilai mencapai US$ 2,7 miliar. 

Sementara, FDI Indonesia sepanjang kuartal I-2019 tercatat US$ 6,08 miliar. Penanaman modal asing (PMA) secara keseluruhan mengalami perlambatan yaitu turun 0,9% dibandingkan periode sama tahun lalu. 

Persoalan daya saing iklim bisnis dan investasi ini sebenarnya telah disadari pemerintah. Beberapa kebijakan juga telah ditempuh mulai dari kebijakan fiskal berupa insentif perpajakan, kebijakan kuasi-fiskal berupa peran BUMN, BLU, maupun lembaga pembiayaan, hingga kebijakan non-fiskal seperti deregulasi dan simplifikasi prosedur. 

Yang terbaru, pemerintah berencana segera mengimplementasi penurunan pajak penghasilan badan (PPh) Badan dari sebelumnya 25% menjadi 20%. Salah satu pertimbangan utamanya, mengikuti tren penurunan PPh Badan di dunia, serta memperkuat daya saing dengan negara sekawasan (peers) yang memiliki tarif pajak serupa. 

Kendati begitu, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Mohammad Faisal menilai upaya memperbaiki iklim bisnis dan investasi di dalam negeri sebaiknya jangan terlalu fokus pada insentif fiskal, terutama pajak semata. 

“Karena hambatan investasi sesungguhnya banyak yang di luar soal fiskal. Seperti ketersediaan infrastruktur penunjang, pengadaan lahan, konsistensi kebijakan antarsektor dan dengan pemerintah daerah, serta kepastian regulasi,” ujar Faisal, Senin (24/6). 

Hambatan-hambatan tersebut, menurut Faisal, jauh lebih berpengaruh terhadap iklim investasi di Indonesia, ketimbang insentif. Tanpa terselesaikannya hambatan tersebut, ia meyakini insentif fiskal yang baru maupun yang telah bergulir saat ini tidak akan efektif mendorong investasi secara signifikan. 

“Kalau terlalu fokus di insentif fiskal, kuatir terlalu besar ongkos keluar dari sisi fiskal sementara tidak juga efektif menarik investasi karena masih dihadapkan pada masalah-masalah tadi,” lanjutnya. 

Senada, Direktur Eksekutif Institute For Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad juga tak sepakat jika penurunan PPh Badan dianggap sebagai strategi utama mendorong investasi dalam negeri. Ia menilai, tarif pajak badan yang rendah tak serta merta mendongkrak pertumbuhan investasi langsung asing (FDI) di suatu negara.

Singapura, misalnya, dengan tarif 17% mengalami pertumbuhan FDI rata-rata sepanjang periode 2015-2018 hanya sebesar 2,6%. Bahkan, pertumbuhan FDI rata-rata Brunei untuk periode yang sama justru minus 163,48% dengan tarif PPh Badan 18,5%. 

“Sementara Indonesia dengan PPh Badan 25% pertumbuhan rata-rata FDI mencapai 93,68% berdasarkan data World Investment Report 2019,” ujar Tauhid, Minggu (23/6). 

Di luar urusan fiskal, Faisal juga menyebutkan produktivitas tenaga kerja sebagai salah satu faktor yang memengaruhi daya saing Indonesia dengan Vietnam dan Thailand. Menurutnya, daya saing tenaga kerja tak hanya persoalan besaran upah tetapi juga kapasitas dan kemampuan tenaga kerja apakah sepadan dengan upah yang dibayarkan. 

“Kalau upah, kita mungkin tidak beda jauh dengan Vietnam, justru Thailand lebih mahal. Tapi kualitas dan produktivitasnya yang masih kalah, kurang sesuai,” tutur Faisal. 

Pendapat serupa sempat dinyatakan Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani. Menurutnya, Indonesia masih jauh kalah saing dalam hal ketersediaan tenaga kerja terampil (skilled labor). 

“Kita saat ini kalah dibanding Vietnam atau Malaysia untuk skilled labour sehingga kesulitan menarik investasi yang memiliki nilai tambah tinggi seperti manufaktur,” ujarnya belum lama ini kepada Kontan.co.id. 

Selain itu, ia menilai, pemerintah juga mesti tetap melanjutkan kebijakan reformasi ekonomi secara struktural, terutama dalam hal efisiensi birokrasi dan bisnis. “Mengenai perizinan, misalnya, merupakan salah satu momok terbesar berusaha di Indonesia,” tandasnya. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×