Reporter: Dea Chadiza Syafina | Editor: Djumyati P.
JAKARTA. Menteri Badan Usaha Milik Negara Dahlan Iskan menilai bahwa Badan Pemeriksa Keuangan salah alamat dalam mempertanyakan penggunaan energi primer pembangkit listrik di 2011 yang merugikan negara sebesar Rp 37 triliun. Seharusnya, hal ini disampaikan BPK kepada BP Migas selaku otoritas pengatur gas nasional.
Dahlan menuturkan, yang dimaksud dengan penyimpangan biaya listrik yang dilakukan oleh PLN memang terjadi di instansi yang dipimpinnya saat itu. Namun hal tersebut disebabkan niat awal PLN yang semula ingin melakukan penghematan anggaran produksi listrik dengan mengganti bahan bakar dari minyak menggunakan gas. Namun rupanya, pemasok gas nasional sama sekali tidak melakukan hal tersebut.
Karena itu, lanjut Dahlan, PLN terpaksa kembali menggunakan BBM sebagai bahan baku produksi listrik. "Tentu niat berhemat dengan menggunakan gas tidak tercapai dan PLN justru harus menambah biaya produksi lagi karena kembali membakar BBM," ungkap Dahlan di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (11/10).
Menurut Dahlan, jika pada saat itu PLN mendapatkan pasokan gas, maka biaya produksi bisa lebih efisien hingga Rp 90 triliun. "Karena waktu itu PLN tidak mendapatkan pasokan gas, maka biaya produksinya menjadi boros atau tinggi sekian triliun alias over budget. Tetapi, PLN tetap harus memproduksi listrik," tegasnya.
Pernyataan Dahlan ini terkait dengan adanya rencana Komisi VII DPR yang akan memanggil Dahlan dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Jero Wacik perihal temuan BPK mengenai penggunaan energi primer pembangkit listrik di 2011 yang merugikan negara Rp 37 triliun. Pada periode tersebut, Dahlan menjabat Direktur Utama PT PLN (Persero).
Berdasarkan hasil pemeriksaan dengan tujuan tertentu (PDTT), menurut Anggota Komisi VII DPR Effendi Simbolon, BPK menemukan adanya kerugian negara sebesar Rp 37 triliun atas penggunaan energi primer pembangkit listrik PLN di 2011. Dia menjelaskan, seharusnya PLN menggunakan mix energy primer sebagai bahan bakar pembangkit listrik.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News