Reporter: Siti Masitoh | Editor: Tri Sulistiowati
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Centre for Strategic and International Studies (CSIS) melihat sejumlah risiko dari terbentuknya Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara).
Peneliti Senior Departemen Ekonomi CSIS Deni Friawan menyampaikan, risiko tersebut diantaranya, pertama, potensi hilangnya penerimaan negara dan dividen BUMN dalam jangka pendek, sehingga APBN bisa mengalami tekanan finansial.
Kedua, risiko utang dan gagal investasi, bila salah dikelola bisa menjadi beban bagi APBN. Sebagaimana diketahui, pemerintah menyampaikan hasil efisiensi anggaran Rp 308 triliun atau setara US$ 20 miliar dalam bentuk tabungan negara, akan dialokasikan kepada Danantara untuk diinvestasikan dalam 20 proyek nasional atau lebih.
Proyek tersebut akan difokuskan pada proyek hilirisasi nikel, bauksit, tembaga, pembangunan pusat data dan kecerdasan buatan, kilang minyak, pabrik petrokimia, produksi pangan dan protein, akuakultur, serta energi terbarukan. Pemerintah menilai proyek tersebut bisa menciptakan nilai tambah tinggi dan bisa menciptakan kemandirian bangsa.
Baca Juga: Danantara Bikin IHSG Jeblok, Saham TLKM Hingga BBRI Ambles
Kedua, bila Danantara terlalu berorientasi pada profit (dividend reinvested), subsidi untuk masyarakat bisa terancam.
Deni menambahkan, dengan adanya diversifikasi sumber pendapatan negara, bila dijalankan dengan baik, investasi atau dana dari APBN dialokasikan untuk pembangunan akan lebih baik.
“Sayangnya dengan kondisi fiskal yang terbatas saat ini, dan stagnasi ekonomi 5%, fokus investasi ini menjadi sangat terbatas. Menjadi wajar, misalnya, kalau fokus investasinya hanya domestik,” tutur Deni dalam agenda, Danantara: Harapan Baru atau Potensi Masalah Baru?, Selasa (25/2).
Lanjutnya, ketika investasi hanya di domestik, maka diversifikasinya menjadi bermasalah. Menurutnya, prinsip investasi akan lebih baik karena dia mengurangi resiko. Sementara sektor-sektor yang akan disuntik oleh Danantara dinilai berisiko.
Meski demikian, Deni menyampaikan, jika dikelola dengan baik, secara teoritis Danantara memang bisa menjadi pilar yang memperkuat pertumbuhan ekonomi. tetapi, bila tidak dikelola dengan baik, Danantraa juga bisa menjadi beban negara, seperti beberapa kasus gagal SWF di negara lain (1MBD Malaysia), Russian National Welth Fund, Libyan Investment Authority (LIA), dan Kazakhstan Samruk.
“Dengan fungsi perkembangan yang ada hingga kini, jujur saja kami skeptis bahwa dan antara bisa mencapai tujuan yang dicita-citakan. Meski demikian, karena ini masih baru, sebenarnya kita masih ada ruang untuk memperbaiki itu,” ungkapnya.
Baca Juga: Investor Swasta Bisa Tersingkirkan Bila Danantara Investasi di Dalam Negeri
Selanjutnya: Michelin Indonesia Pasok Ban untuk Beberapa Model Kendaraan Listrik
Menarik Dibaca: KAI Operasikan 9.572 Perjalanan Kereta Api Selama Masa Angkutan Lebaran 2025
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News