Reporter: Titis Nurdiana | Editor: Yudho Winarto
JAKARTA. Jangan heran jika belakangan Bank Indonesia (BI) getol mengeluarkan banyak aturan untuk korporasi dan rumah tangga. Bukannya ingin cawe-cawe, mengatur sektor riil. Tapi, "Ini dibutuhkan demi menjaga keseimbangan pasar,"ujar Halim Alamsyah, Deputi Gubernur BI pekan lalu.
Pasalnya, dalam telisikan bank sentral, terlihat efek yang cukup berbahaya akibat tren kenaikan harga properti, kenaikan kredit bermasalah atau non performing loan di perbankan, pelambatan ekonomi, melemahnya nilai tukar hingga naiknya utang valuta asing korporasi.
“Risiko terbesar terletak di korporasi dengan utang luar negeri besar yang tak memiliki lindung nilai atau hedging, tapi mereka memiliki pendapatan non valas,” ujar Halim.
Meski rasio utang terhadap produk domestik bruto stabil, peningkatan utang luar negeri disertai melemahnya kapasitas kemampuan membayar korporasi yang tercermin dari debt service ratio yang meningkat tajam berpotensi mengganggu stabilitas sistem keuangan.
Apalagi, menguatnya dollar Amerika Serikat (AS), ada risiko terjadi kerentanan pembayaran utang valas korporasi. Ini terutama terjadi di 44 debitur yang mengenggam pangsa pasar utang luar negeri hingga 29% dengan total utang sebesar US$ 17,9 miliar. Sebab, "Dari jumlah itu cuma US$ 4 miliar yang dihedging," ujar Halim.
Kondisi ini diperparah terjadi terjadi konsentrasi kredit bank-bank besar di korporasi tertentu. Sebanyak 14 bank besar dengan total kredit sebesar Rp 862 triliun diberikan ke korporasi yang itu-itu saja.
Dari rumah tangga, alokasi kredit di properti merupakan yang terbesar. BI menengarai, ini karena motivasi spekulasi di properti membesar. Ini tercermin terjadi peningkatan harga properti di lima kota besar, jauh lebih besar dari pendapatan nasional. Selain itu, terjadi pergeseran motif dari beli untuk disewakan menjadi beli untuk dijual (capital gain).
Ini yang membuat BI mengatur pembatasan pembelian properti dengan loan to value 30% untuk pembelian rumah pertama dan membesar untuk pembelian rumah berikutnya. Aturan itu, kata Halim, mampu meredam harga properti dan memperbaiki kemampuan membayar utang individu.
BI kini mengatur utang luar negeri swasta dengan kewajiban hedging. Jika perusahaan tak mau hedging, mereka wajib menyediakan dana secara bertahap, minimal 60 hari sebelum utang jatuh tempo dan harus disimpan di bank. “Jika mereka menolak, bank wajib menutup fasilitas kredit mereka,” ujar Halim.
Kata Halim, aturan ini bertujuan untuk menjaga makro prudential ekonomi. Ibarat kodok direbus dalam air mendidih, “Jika aturan BI keluarkan saat kondisi sudah gawat, mereka akan loncat,” ujar Halim. Tapi jika kodok ditempatkan di air dingin yang dipanaskan perlahan, mereka tidak menyadari datangnya bahaya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News