Reporter: Barratut Taqiyyah | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Sepandai-pandai aktor beraksi dan berakting, pasti salah juga. Selihai-lihainya koruptor mencuci uang, pasti terdeteksi juga. Mulai dari pejabat Kantor Pajak Bahasyim Assifie yang mencuci uangnya dengan berinvestasi dalam berbagai produk reksadana hingga Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar melalui perusahaan yang bergerak di bidang jasa, semuanya terkuak.
Tonggak penerapan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dalam kasus korupsi mulai terpancang sejak kasus Bahasyim tahun 2010 di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Tahun-tahun sebelumnya, UU TPPU bisa dibilang tidur nyenyak alias tidak pernah digunakan.
Setelah kasus Bahasyim, pasal TPPU makin kerap digunakan. Apalagi, pada tahun yang sama, terbit UU No 8/2010 sebagai penyempurnaan dari UU No 24/2003 dan UU No 15/2002 tentang TPPU. Dalam UU No 8/2010, pihak yang bisa menyidik perkara TPPU diperluas.
UU ini juga lebih gamblang mengatur asas pembuktian terbalik. Dalam TPPU, beban pembuktian bukan berada pada penegak hukum, melainkan pada terdakwa. Jika terdakwa tidak bisa menjelaskan asal-usul harta kekayaannya secara logis, patut diduga kekayaannya berasal dari hasil korupsi.
Dari berbagai kasus pencucian uang, secara umum pelaku memakai tiga modus, yakni penempatan (placement), transaksi berlapis-lapis (layering), dan penggabungan dengan bisnis sah (integration). Indikasi pencucian uang lainnya adalah tidak memasukkan aset itu ke dalam laporan harta kekayaan penyelenggara negara.
Ada beberapa placement dalam pencucian uang, antara lain menyimpan uang dalam rekening bank, menyimpan barang berharga dalam safe deposit box, serta membeli properti atau mobil mewah mengatasnamakan orang lain.
Dalam layering, koruptor biasanya melakukan transfer, penarikan, pemindahbukuan dengan frekuensi tinggi dan berulang-ulang agar hasil korupsi tidak mudah terlacak.
Dalam integration, hasil korupsi ditanamkan atau diinvestasikan dalam perusahaan atau bisnis sah dengan tujuan hasil kekayaannya seolah-olah berasal dari sumber yang halal.
Untuk kasus Bahasyim, modus yang digunakan placement, layering, dan integration sekaligus. Mantan Kepala Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak Jakarta Tujuh tersebut menaruh dananya ke dalam sejumlah rekening atas nama istri dan dua anaknya. Uang lalu ditransfer dan diputar-putar di antara rekening-rekening itu hingga transaksinya mencapai 304 kali dengan nilai Rp 885 miliar.
Bahasyim juga menaruh dana dalam sejumlah reksadana. Total kekayaan Bahasyim mencapai Rp 60 miliar, jauh di atas pendapatannya sebagai pegawai Pajak. Bahasyim yang terjerat kasus gratifikasi ini dijerat dengan Pasal 3 Huruf a UU No 25/2003 jo UU No 15/2002.
Tahun 2011, tercatat dua kasus pencucian uang atas nama Gayus HP Tambunan dan Malinda Dee. Gayus, pegawai pajak yang saat itu berusia 32 tahun, kedapatan menyimpan lembaran uang senilai 659.800 dollar Australia dan 9,68 juta dollar Singapura dalam safe deposit box. Selain uang, juga ada 31 keping logam mulia yang masing-masing seberat 100 gram. Pegawai pajak golongan III yang terjerat dalam kasus gratifikasi dan pemeriksaan pajak PT Surya Alam Tunggal ini dikenakan Pasal 3 Ayat 1 UU No 25/2003 karena menempatkan (placing) uang yang diduga berasal dari korupsi.
Adapun Malinda melakukan layering dengan membukukan 117 transaksi senilai Rp 27 miliar dan 2 juta dollar AS. Layering dilakukan dengan menggunakan rekening suami, adik kandung, dan adik ipar. Mantan Relationship Manager Citibank ini juga melakukan integration dengan menempatkan uang di perusahaannya, yakni PT Exclusive Jaya Perkasa.
Lebih canggih
Selanjutnya, tahun 2012, kasus pencucian uang dilakukan dua pegawai pajak, yakni Dhana Widyatmika dan Herly Isdiharsono, dengan modus yang cukup canggih. Lelaki yang saat itu berumur 38 tahun ini melakukan placement dengan berinvestasi pada reksadana. Ia juga membeli tanah dan properti senilai puluhan miliar, membeli logam mulia seberat 1.100 gram, dan menyimpan dana Rp 11,4 miliar dan 302.189 dollar AS.
Modus integration dilakukannya dengan membeli properti bekerja sama dengan PT Bangun Persada Semesta dan kendaraan roda empat yang disembunyikan dengan cara seolah-olah sebagai barang dagangan PT Mitra Modern Mobilindo 88 yang didirikannya.
Puncak penerapan pasal pencucian uang sejauh ini terjadi tahun 2013. Sejumlah nama besar yang terjerat kasus korupsi, seperti Irjen Djoko Susilo dan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq, dikenakan pasal pencucian uang. Mantan Bendahara Umum Partai Demokrat M Nazaruddin juga dikenakan pasal pencucian uang dalam proses penyidikan oleh KPK saat ini.
Djoko yang terjerat kasus pengadaan simulator memiliki kekayaan senilai Rp 54,6 miliar dan 60.000 dollar AS selama kurun 2003-2010, yang diduga berasal dari korupsi. Adapun selama kurun 2010-2012, mantan Kepala Korlantas Polri itu telah membeli aset sebesar Rp 63,7 miliar yang diduga juga berasal dari hasil korupsi. Modus yang digunakan Djoko kebanyakan placement dengan membeli rumah dan tanah.
Kasus Luthfi dan teman dekatnya, Ahmad Fathanah, kini tengah bergulir di pengadilan. Luthfi didakwa melanggar Pasal 3 dan 5 UU No 8/2010 karena menerima dan memberikan dana yang diduga berasal dari hasil korupsi. Modus yang dilakukan Luthfi adalah membeli mobil, rumah, dan tanah atas nama orang lain.
Yang paling hangat tentu dugaan pencucian uang Akil Mochtar. Meskipun belum ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus pencucian uang, KPK telah mengungkapkan sejumlah indikasi pencucian uang.
Akil diduga mencuci uang dari hasil yang diduga korupsi terkait penanganan sengketa pilkada di MK. Pencucian uang tersebut melalui perusahaan yang bergerak dalam bidang perdagangan umum dan jasa yang berlokasi di Pontianak, Kalimantan Barat.
CV RS adalah perusahaan yang diduga menjadi tempat pencucian uang Akil. Badan usaha itu dimiliki istri Akil, Ratu Rita. Jumlah aliran dana yang masuk ke dua rekening bank BUMN atas nama CV RS mencapai Rp 100 miliar.
Kepala PPATK Muhammad Yusuf mengatakan, PPATK bisa melacak dan mendeteksi modus pencucian uang yang dilakukan koruptor. Peluang koruptor mencuci uangnya bakal lebih terbatas jika RUU transaksi tunai disahkan. Dalam RUU ini, transaksi tunai akan dibatasi agar koruptor tidak mudah melakukan placement. (M Fajar Marta/Kompas.com)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News