kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.347.000 0,15%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Cara berladang masyarakat adat unik


Selasa, 27 September 2016 / 18:03 WIB
Cara berladang masyarakat adat unik


Reporter: Dadan M. Ramdan | Editor: Dadan M. Ramdan

JAKARTA. Cara berladang tradisional masyarakat adat sedikit unik karena berkaitan dengan ritual masyarakat dan sudah dilakukan secara turun-temurun. Tapi kekayaan budaya ini sedang terancam, karena masyarakat adat menghadapi kriminalisasi.

Ancaman kriminalisasi kerap terjadi terhadap masyarakat yang melakukan kegiatan berladang dengan cara membakar. Padahal, Mekanisme pembakaran lahan oleh masyarakat ini dilindungi dengan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 10 Tahun 2010 Tentang Mekanisme Pencegahan Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Hidup.

Menurut Mina Susanna Setra sebagai Deputi Satu Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, pembakaran yang dilakukan oleh masyarakat adat tidak sembarangan, karena semuanya dilakukan berdasarkan kearifan lokal yang berlaku di masyarakat dengan diawasi secara ketat oleh ketua adat. Lahan yang dibakar adalah lahan yang terletak di atas tanah mineral, bukan tanah gambut. Pelanggaran terhadap praktek pembakaran ini sangat berat, yakni sanksi adat dari pemuka adat.

Apaladi masyarakat adat sudah melakukan tradisi berladang secara turun-temurun. Yang perlu diluruskan, mereka tidak membakar hutan tapi membuka ladang yang wilayahnya sudah dialokasikan atas dasar musyawarah adat.  Berladang juga sebagai benteng terakhir pertahanan budaya, karena semua tradisi dan kebudayaan mereka berkaitan dengan dengam sistem pertanian. "Pemerintah mempunyai kewajiban untuk melindungi mereka, dan melindungi segala tradisi yang telah dijaga oleh masyarakat adat,” pinta Mina.

Akibat ancaman kriminalisasi, maka masyarakat adat mulai tidak lagi berladang karena takut ditangkap oleh aparat. Bila hal ini terus dibiarkan, maka potensi ancaman kelaparan terhadap masyarakat adat sangat besar. Padahal, apa yang dilakukan oleh masyarakat ini sudah dilindungi oleh payung hukum yang berlaku. Tommy Indriadi dari Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nasional (PPMAN) mengatakan, pembakaran ladang ini dikuatkan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pada Pasal 69 Ayat 2 dijelaskan bahwa membuka lahan dengan cara membakar diperbolehkan dengan memperhatikan kearifan lokal daerah masing-masing.

“Penangkapan aparat terhadap masyarakat adat yang membuka lahan harus dihentikan. Apa yang mereka lakukan sudah dijamin oleh Peraturan Menteri dan dikuatkan dengan Undang-Undang. Pemahaman aparat perlu ditingkatkan mengenai hal ini. Bila upaya kriminalisasi terus dilakukan, maka sesungguhnya aparat telah melakukan pelanggaran terhadap Undang-Undang,’” jelasnya.

Ya, metode berladang masyarakat adat harus dilindungi dan dilestarikan. Florensius Rengga, perwakilan masyarakat adat lokal dari Sungai Utik, Kalimantan Barat bilang, selain sudah terbukti selama bertahun-tahun tidak menimbulkan kerusakan lingkungan, pola bertanam ini menjamin kesediaan pangan bagi masyarakat adat. Selain potensi ancaman kelaparan, larangan berladang juga akan menimbulkan hilangnya keanekaragaman hayati. "Dengan berladang, masyarakat menjaga kelestarian bibit lokal. Tidak hanya bibit padi yang diwariskan secara  secara turun-temurun, tapi juga bibit tanaman sela yang hanya ada di daerah mereka,” sebut Florensius.

Pola berladang ini merupakan tradisi turun-temurun. Acaman terhadap kegiatan ini tentunya akan menghilangkan kekayaan tradisi yang ada. Indonesia harus melindungi kesejahteraan masyarakat adat yang berusaha melindungi kearifan lokal yang positif tersebut sekaligus memenuhi kebutuhan hidup mereka.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×