Reporter: Ghina Ghaliya Quddus | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bank Indonesia (BI) mencatat, posisi cadangan devisa Indonesia akhir April 2018 sebesar US$ 124,9 miliar. Itu berarti, cadev turun US$ 1,1 miliar dari posisinya per akhir Maret 2018 yang sebesar US$ 126 miliar.
Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan, cadev masih akan terpakai. Sebab, diperkirakan BI masih akan tetap melakukan langkah-langkah stabilisasi rupiah melalui first line of defense dalam rangka menekan volatilitas nilai tukar rupiah. Namun demikian, sentimen buruk bagi rupiah diperkirakan akan berkurang.
"Volatilitas rupiah diperkirakan akan cenderung menurun pada semester II tahun ini seiring normalnya kembali permintaan dollar di dalam negeri serta sentimen eksternal yang mulai mendukung khususnya setelah FOMC Juni di mana Fed diperkirakan akan memberikan outlook terkini terkait arah suku bunga AS dalam jangka pendek," kata Josua kepada KONTAN, Selasa (9/5).
Josua melihat, BI memang selalu berada berada di pasar melakukan langkah stabilisasi rupiah dengan melakukan intervensi di pasar valas dan pasar SBN, terindikasi dari kenaikan kepemilikan BI pada SBN dalam 1-2 bulan terakhir ini. Langkah-langkah stabilisasi rupiah tersebut berimbas pada penurunan cadangan devisa April yang kembali turun.
Penurunan cadangan devisa dikonfirmasi juga oleh tren keluarnya dana asing di pasar keuangan baik di pasar saham dan pasar obligasi. Investor asing membukukan penjualan bersih sebesar US$ 750 juta sementara kepemilikan investor asing pada SBN juga turun sekitar US$ 1,15 miliar yang mendorong pelemahan rupiah.
Ia menambahkan, pelemahan rupiah terhadap dollar AS yang sudah menembus level 14.000 per dollar masih didominasi oleh faktor eksternal, yakni sentimen pasar mendukung permintaan dollar AS jelang keputusan presiden AS terkait perjanjian nuklir dengan Iran dimana jika AS menarik diri dari perjanjian tersebut akan berpotensi meningkatkan ketegangan geopolitik dengan Iran serta mendorong kenaikan harga minyak dunia. Sementara kenaikan harga minyak dunia akan berpotensi membebani negara yang notabene adalah net importir minyak antara lain India, Indonesia dan Filipina.
Selain itu, penguatan dollar terhadap mata uang negara maju dan negara berkembang juga dipengaruhi oleh rilis data euro zone yang relatif menurun seperti laju inflasi euro zone serta laju factory order Jerman yang melambat yang mendorong ekspektasi bahwa bank sentral Eropa diperkirakan akan menunda melakukan pengurangan stimulus moneter sehingga memberi tekanan pada nilai tukar euro.
Sementara dari domestik, pergerakan rupiah juga turut dipengaruhi oleh ekspektasi pelebaran defisit transaksi berjalan pada tahun 2018 ini seiring tren laju impor yang lebih cepat dari laju ekspor.
*Selain itu, permintaan dollar yang meningkat di dalam negeri juga dipengaruhi oleh kebutuhan pembayaran dividen yang cukup besar dari perusahaan multinasional di dalam negeri," ucapnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News