Reporter: Adinda Ade Mustami | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara memproyeksi, defisit transaksi berjalan (CAD) di kuartal ketiga tahun ini mencapai 2% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Angka itu lebih besar dari CAD kuartal pertama 2017 yang sebesar US$ 2,4 miliar atau 0,98% dari PDB dan bahkan lebih besar dari kuartal kedua 2017 yang sebesar US$ 5 miliar atau 1,96% dari PDB.
Ia juga memproyeksi CAD kuartal keempat membaik menjadi 1,2% dari PDB. Hal itu dipengaruhi oleh, berlanjutnya surplus neraca perdagangan meski besarannya terbatas dibanding periode Agustus dan September yang sebesar US$ 1,72 miliar dan US$ 1,76 miliar.
Namun Bhima mengingatkan, transaksi berjalan yang masih defisit mengindikasikan bahwa struktur perekonomian masih rapuh. Sebagian besar penguat transaksi berjalan adalah ekspor barang mentah, yaitu sebesar 79. Sementara ekspor industri manufakturnya, masih di bawah 27%.
"Tahun 1999 Indonesia pernah surplus itu lebih disebabkan harga komoditasnya sedang naik. Struktur ekonomi saat ini justru menunjukkan naiknya kerawanan," kata Bhima kepada Kontan.co.id, Jumat (20/10).
Beberapa kerawanan lanjut dia, seperti kurs rupiah yang rentan terhadap fluktuasi harga komoditas. Dalam dua pekan terakhir kata Bhima, rupiah mengalami depresiasi hingga ke level Rp 13.500 per dollar AS karena gejolak harga minyak dan batu bara.
"Ini juga mempengaruhi kualitas cadangan devisa. Pembentuk cadangan devisa sepanjang 2017 adalah surat utang yang merupakan instrumen portfolio," tambahnya.
Oleh karena itu, Bhima bilang Indonesia seharusnya meningkatkan kualitas ekspor non migas. Hilirisasi industri juga perlu dipercepat untuk mencegah turunnya sektor industri terhadap PDB.
"Deindustrialisasi ini berbahaya karena porsi industri tinggal 20%. Tahun 1980-an porsinya pernah 27%. Insentif bagi industri artinya harus dijadikan prioritas," kata Bhima lagi.
Selain itu, arus modal asing yang keluar juga dinilainya perlu dikendalikan. Indonesia lanjut dia, bisa belajar dari Thailand, yang devisa hasil ekspornya harus berada di dalam negeri minimal enam hingga sembilan bulan.
Sementara devisa hasil ekspor (DHE) Indonesia sendiri masih banyak disimpan di Singapura yang pada akhirnya mempengaruhi arus transaksi berjalan juga.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News