Reporter: Handoyo | Editor: Rizki Caturini
JAKARTA. Gelombang penolakan buruh atas penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) tahun 2017 masih berlanjut. Hal itu dilakukan lantaran sebagian besar kepala daerah tidak mengakomodir tuntutan buruh, namun menggunakan perhitungan sesuai formula dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 tahun 2015 tentang Pengupahan.
Sejak tahun lalu upaya untuk membawa perkara pengupahan ini ke jalur hukum masih terkendala. Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Serikat Pekerja Nasional (SPN) dan Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia telah memasukkan gugatan uji materi PP Nomor 78 tahun 2015 ini ke Mahkamah Agung (MA).
Presiden KSPI, Said Iqbal mengatakan, dua minggu lalu MA memutuskan untuk menyidangkan gugatan buruh atas uji materi PP 78 tahun 2015 khusnya pasal 44 yang mengatur kenaikan upah minimum berdasarkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi nasional. "Sampai saat ini belum ada keputusan," kata Said, Minggu (6/11).
Dalam PP Nomor 78 tahun 2015 telah melanggar UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dalam kebijakan yang baru ini hak berunding serikat buruh menjadi hilang karena kenaikan upah minimum diputuskan sepihak pemerintah pusat.
Hal ini mengabaikan UU Nomor 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja dan konvensi ILO Nomor 87,98, dan 131. Kewenangan Gubernur menetapkan UMP atau UMK berdasarkan perundingan dewan pengupahan juga sirna dengan aturan pengupahan ini.
Said mencontohkan, penetapan upah minimum tidak masuk akal, kita ketika gubernur DKI Jakarta memutuskan UMP sebesar Rp 3,3 juta untuk tahun 2017. Sedangkan UMK Karawang tahun 2016 sudah Rp 3,3 juta, padahal kebutuhan hidup di Jakarta tiga kali lipat lebih mahal dari pada Karawang.
Data International Labour Organization (ILO) menunjukkan, pada tahun 2014-2015 upah rata-rata buruh Laos US$ 119 per bulan, Kamboja US$ 121 per bulan, Indonesia US$ 174 per bulan. Kemudian Vietnam US$ 181 per bulan, Thailand US$ 357 per bulan, Philipina US$ 206 per bulan, Malaysia US$ 506 per bulan.
Said bilang, PP Nomor 78 tahun 2015 kembali memiskinkan kaum buruh dan rakyat kecil demi melindungi pemodal besar dan kepentingan asing. "Buruh sambil menunggu keputusan MA akan mengorganisir mogok daerah dan mogok nasional menolak kebijakan upah murah dan PP 78 ini," katanya.
Instrumen hukum lain juga tengah di wacanakan oleh buruh. Mereka sudah siap untuk memperkarakan persoalan pengupahan ini melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Rencananya, pengajuan ke PTUN dilakukan pada bulan Desember mendatang.
Mirah Sumirat, Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia mengatakan, proses ke PTUN ini dilakukan karena untuk uji materi di MA masih tertahan dan belum ada perkembangan. Meski tidak merinci, Mirah bilang PTUN tetap dapat dijalankan walau ketentuan yang lebih tinggi sedang dalam tahap penyelesaian di MA.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News