Reporter: Vendy Yhulia Susanto | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) menerbitkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 5 Tahun 2023 tentang Penyesuaian Waktu Kerja dan Pengupahan Pada Perusahaan Industri Padat Karya Tertentu Berorientasi Ekspor yang Terdampak Perubahan Ekonomi Global.
Adapun, salah satu isi Permenaker adalah membolehkan perusahaan padat karya tertentu berorientasi ekspor membayar upah 75%.
Menanggapi hal tersebut, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengatakan, pihaknya akan mengambil langkah hukum untuk menggugat Permenaker tersebut.
“Minggu depan kita akan masukkan (pendaftaran gugatan) ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) untuk membatalkan Permenaker,” ujar Iqbal, Minggu (19/3).
Baca Juga: Industri Padat Karya Orientasi Ekspor Boleh Diskon Upah, Buruh Ancam Turun ke Jalan
Langkah hukum lain adalah mengajukan judicial review ke Mahkamah Agung (MA). Sebab, Permenaker 5/2023 bertentangan dengan Perppu nomor 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja dan UU nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
“Judicial Review ke Mahkamah Agung, uji peraturan menteri terhadap UU yang berlaku,” kata Iqbal.
Lebih lanjut Iqbal menyampaikan, memang ada penurunan order pada sejumlah sektor industri padat karya. Namun penurunan order tersebut tidak signifikan.
“Di seluruh dunia ngga ada motong upah tidak terjadi PHK,” ucap Iqbal.
Baca Juga: Kemenaker Bolehkan Industri Padat Karya Orientasi Ekspor Bayar Upah 75%, Buruh Protes
Menurut Iqbal, setidaknya ada 4 alasan mengapa Permenaker No 5 Tahun 2023 ditolak buruh.
Pertama, Menaker telah melawan Presiden. Partai Buruh dan organisasi serikat buruh berkeyakinan, Menaker tidak berkonsultasi terlebih dahulu dengan Presiden ketika mengeluarkan Permenaker No 5 Tahun 2023.
"Presiden sudah menandatangai Perppu No 2 tahun 2022, yang tidak mengatur dibolehkannya menurunkan upah buruh," ujarnya.
Kedua, menurunkan daya beli. KSPI setuju industri padat karya disebut mengalami kesulitan di tengah kesulitan ekonomi. Akan tetapi, kalau kebijakannya memotong upah, jadi dobel. Pengusaha sulit, buruh juga sulit. Kalau daya beli turun, buruh tidak bisa membeli barang yang diproiduksi pengusaha, justru akan menghantam lebih banyak.
"Kalau upahnya murah, daya beli turun. Daya beli turun, konsumsi berkurang. Kalau konsumsi berkurang, pertumbuhan ekonomi tidak akan tercapai," kata Iqbal.
Ketiga, terjadi diskriminasi upah. Sebab, di dalam UU Perburuhan dan Konvensi ILO No 133, tidak boleh ada diskriminasi upah. Keempat, perusahaam padat karya sudah mendapatkan beragam kompensasi.
Misalnya, perusahaan sudah menerima tax holiday, menerima keringanan bunga bank, tax amnesty, dan berbagai kemudahan yang lain.
Iqbal menyebut, seharusnya pemerintah memberi keringanan insentif bagi perusahaan padat karya maupun padat modal yang mengalami kesulitan.
“Bukan potong sana potong sini seperti HRD, yang memotong upah ketika buruh tidak masuk dan telat datang ke perusahaan,” imbuh Iqbal.
Baca Juga: Kemnaker Izinkan Industri Padat Karya Berorientasi Ekspor Pangkas Upah, Ini Alasannya
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News