Reporter: Adinda Ade Mustami | Editor: Dikky Setiawan
JAKARTA. Mantan Deputi Gubernur Bidang Pengelolaan Moneter dan Devisa Bank Indonesia Budi Mulya mengklaim, uang Rp 1 miliar yang diberikan oleh pemegang saham Bank Century Robert Tantular merupakan pinjaman yang didasarkan pada suatu perjanjian perdata yang waktunya berbeda.
Menurut Budi, penerimaan uang dalam bentuk Bilyet Giro terebut tak ada hubungannya dengan keputusan pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) kepada Bank Century.
"Terdawa (Budi Mulya) tidak menerima uang begitu saja tetapi berdasarkan pada suatu perjajian perdata yang waktunya berbeda," kata salah satu penasihat hukum Budi, Luhut Pangaribuan saat membacakan nota keberatan (eksepsi) Budi Mulya di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta.
Lebih lanjut, menurut Luhut, dakwaan atas kliennya yang telah disusun oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah keliru. Sebab, hal tersebut tidak berhubungan dengan kewenangan Bank Indonesia secara Institusi dengan kebijakan pemberian Penyertaan Modal Sementara (PMS) melalui pemberian FPJP dan dana talangan (bailout) dengan total mencapai Rp 7,2 triliun.
Apalagi, lanjut Luhut, usai memberikan bilyet giro sebesar Rp 1 miliar, Robert Tantular malah bertemu dengan Deputi Gubernur Bidang Pengawasan Bank Umum dan Bank Syariah, Siti Chalimah Fadjriah, bukan bertemu dengan Budi Mulya. Hal itu, menurut Luhut, tidak menjelaskan uraian perbuatan 'berlanjut' seperti yang didakwakan JPU kepada kliennya.
"Itu juga harus dijelaskan dalam surat dakwaan atas fakta, apakah korelasi antara diterimanya uang tersebut, sehingga Robert Tantular bertemu dengan Siti Chalimah Fadjriah bukan dengan Budi Mulya?," tambah Luhut.
Padahal, lanjut dia, pemberian FPJP sebesar Rp 689 miliar kepada Bank Century secara terang dan jelas diakui dilakukan Bank Indonesia sebagai bank sentral didasarkan atas kondisi perekonomian global yang memburuk dan berdampak ke Indonesia.
"Dengan demikian, surat dakwaan yang disusun dengan tidak cermat, tidak jelas, dan tidak lengkap dalam menguraikan unsur suatu perbuatan tindak pidana berlanjut maupun menentukan sebab suatu akibat tindak pidana (hubungan kausalitas) tersebut haruslah dinyatakan batal demi hukum," kata Luhut.br />
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News