Reporter: Epung Saepudin | Editor: Tri Adi
JAKARTA. Indonesia dituding masih melindungi pelaku pembajakan. Kepala Perwakilan dan juru bicara Business Software Alliance (BSA) Indonesia Donny Sheyoputra menilai vonis hakim yang ringan menjadi persoalan dalam penegakan kasus HKI di Indonesia. BSA meminta majelis hakim mempertimbangkan aspek nilai kerugian dalam memutuskan kasus-kasus pembajakan software di Indonesia. Sebab, selama ini vonis pengadilan terhadap para terdakwa kasus pembajakan software hanya sanksi minimal sehingga tidak menimbulkan efek jera.
Donny bilang, kasus-kasus pembajakan software yang baru saja diputus pengadilan banyak dengan sanksi minimal, seperti sanksi pidana 6 bulan diberikan pada PT KG dan KM oleh Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan. Kasus terbaru lainnya, 5 kasus yang diputus PN Malang, Jawa Timur, Desember 2009 di mana pengadilan memvonis 5 terdakwa dengan sanksi pidana mulai 3 bulan hingga 12 bulan, serta denda mulai Rp 1 juta-Rp 2,5 juta.
Padahal, UU Hak Cipta No 19/2002 terutama pasal 72 ayat 3 mengenai penggunaan produk software bajakan, bila terbukti bersalah, hukuman maksimalnya adalah 5 tahun penjara dan atau denda Rp 500 juta. “BSA tidak menyalahkan para jaksa atau hakimnya. Tapi BSA sepakat sanksi yang diputuskan tidak menimbulkan efek jera. Karena itu, para hakim perlu menambah pertimbangan khusus dalam hal pembajakan software yakni aspek nilai kerugian. Majelis hakim tidak bisa hanya memberikan sanksi kerugian puluhan juta rupiah. Sebab produk software saja nilainya bisa puluhan juta, ini belum termasuk kerugian akibat tindakan pembajakannya,” kata Donny, Kamis (11/3).
Ia bilang, jika majelis hakim mempertimbangkan aspek nilai kerugian ini, ada dua hal yang bisa didapat. Pertama, membantu menambah keuangan negara karena adanya kenaikan pembayaran denda. Kedua, dengan denda yang lebih besar, bisa menimbulkan efek jera.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News