Reporter: Martina Prianti,Rella Shaliha | Editor: Test Test
JAKARTA. Badan Pelaksana Usaha Hulu Migas (BP Migas) diam-diam sedang menyusun acuan biaya produksi minyak (benchmarking). Acuan itu akan menjadi dasar untuk menentukan biaya klaim eksplorasi minyak kepada negara atau cost recovery.
Penyusunan acuan biaya tersebut saat ini masih pada tahap awal. Dalam menyusun acuan ini, BP Migas akan mendata biaya untuk eksplorasi di lapangan darat maupun di laut. "Cara ini ini akan lebih memudahkan untuk proses audit," kata Wakil Kepala BP Migas Abdul Muin, dalam rapat dengan Komisi VII, Selasa (9/9).
Sementara ini BP Migas masih menyusun benchmarking bersama dengan enam kontraktor minyak yang besar. Rencananya, benchmarking akan digunakan untuk menyusun cost recovery tahun 2009.
Selanjutnya, BP Migas akan menyerahkan penyusunan benchmarking ini kepada perusahaan swasta dengan sistem outsourcing. Alasannya, BP Migas memiliki keterbatasan manusia untuk melakukan hal ini. "Tapi sampai sekarang kami belum tahu berapa anggarannya," sambung Mu'in.
Cara ini sebenarnya untuk mengikuti saran Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati . Sebelumnya, Sri Mulyani meminta BP Migas untuk memperbaiki mekanisme cost recovery dengan membuat benchmarking tentang apa yang boleh dan pantas secara akuntansi. "Depkeu minta kepada BP Migas untuk melakukan perbaikan dengan semakin meminimalkan cost recovery-nya," kata Sri Mulyani. Dengan begitu, peneriman negara dari minyak dan gas akan semakin besar.
Tapi di sisi lain, BP Migas dapat memanfaatkan benchmarking ini untuk berlindung dariĀ ganasnya audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Dengan acuan ini, BP Migas bisa berdalih nilai cost recovery telah berdasarkan bechmarking.
Sudah tidak menjadi rahasia lagi, akhir-akhir ini BPK gencar melakukan audit terhadap sektor migas. BPK mencium praktik transfer pricing pada 70% kontraktor minyak sehingga membuat klaim cost recovery kepada negara membengkak.