Reporter: Adinda Ade Mustami | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa Bupati Tapanuli Tengah Raja Bonaran Situmeang sebagai tersangka kasus dugaan suap dalam penanganan sengketa Pilkada Tapanuli Tengah di Mahkamah Konstitusi (MK) tahun 2011, Senin (6/10).
Apakah Bonaran langsung ditahan usai menjalani pemeriksaan oleh penyidik? Pasalnya, selama ini KPK kerap menahan seseorang seusai pemeriksaan orang tersebut sebagai tersangka.
Menanggapi hal ini, Bonaran malah mempertanyakan alasan kemungkinan penyidik KPK melakukan penahanan terhadap dirinya. Bonaran juga mempertanyakan alat bukti yang sudah diperoleh tim penyidik KPK terkait kasus yang menjeratnya tersebut.
"Kita pertanyakan kenapa ditahan? takut mengulangi perbuatan menyuap? pastikan dulu kapan saya menyuap? itu dipertanyakan pengacara saya. Apa alat buktinya menyuap? kenapa saya suap? buktikan dong," kata Bonaran di Gedung KPK, Jakarta, Senin (6/10).
Kepala Bagian Pemberitaan dan Publik KPK Priharsa Nugraha mengatakan, penyidik KPK memiliki pertimbangan subyektif dan obyektif dalam menentukan apakah seorang tersangka harus ditahan atau tidak. Menurut priharsa, yang termasuk pertimbangan subyektif adalah tersangka dikhawatirkan melarikan diri, menghilangkan barang bukti, serta mempengaruhi saksi-saksi yang akan diperiksa.
"Objektif itu ancaman pidana dari sangkaan pasalnya," kata Priharsa.
Adapun mereka yang ditahan seusai diperiksa sebagai tersangka di antaranya mantan Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum, mantan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda Goeltom, dan mantan anggota DPR Angelina Sondakh. Mereka juga ditahan setelah berkas perkaranya mencapai 50% menuju rampung atau P21.
KPK telah menetapkan Bonaran sebagai tersangka kasus tersebut sejak Agustus 2014 lalu. Penetapan sebagai tersangka tersebut merupakan pengembangan penyidikan kasus korupsi terkait Pilkada MK dan pencucuian uang yang sebelumnya menjerat mantan Ketua MK Akil Mochtar.
Bonaran disangkakan melanggar Pasal 6 ayat 1 huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal tesebut, memuat ancaman pidana penjara paling singkat tiga tahun dan paling lama 15 tahun, serta pidana denda paling sedikit Rp 150 juta dan paling banyak Rp 750 juta.
Dalam amar putusan Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Akil terbukti menerima suap terkait penanganan sengketa Pilkada Tapanuli Tengah sebesar Rp 1,8 miliar. Pemberian uang tersebut diduga dilakukan dengan tujuan agar MK memutuskan Bonaran dan Sukran Jamilan Tanjung sebagai Bupati dan Wakil Bupati Tapanuli Tengah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News