Reporter: Asep Munazat Zatnika, Margareta Engge Kharismawati | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Bank Indonesia (BI) ke depan tetap akan mengarahkan kebijakan moneter untuk mengurangi defisit neraca transaksi berjalan atau current account deficit (CAD). BI menilai kebijakan yang sudah dikeluarkan selama ini belum cukup ampuh menekan impor, terutama impor minyak dan gas (migas).
Kebijakan inilah yang kemudian diartikan banyak ekonom sebagai sinyal BI untuk menaikan suku bunga acuan atau BI rate. Sebab, walau BI telah menaikkan suku bunga acuan sebanyak tiga kali hingga 150 basis poin menjadi 7,25% pada tahun ini, tingkat konsumsi dalam negeri masih cukup tinggi. Akibatnya tekanan dari impor tetap besar.
Karena itu, Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara menegaskan, upaya menekan jumlah impor masih harus dilakukan BI dan pemerintah. Sebab, permasalahan utama yang membelit ekonomi Indonesia adalah defisit neraca transaksi berjalan yang tidak kunjung reda.
"Ke depan perlu ada langkah yang konsisten untuk menekan impor," katanya, Senin (11/11). Sinyal inilah yang kemudian ditangkap sebagai gelagat BI untuk menaikkan BI rate dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI, Selasa (12/11) ini.
Ekonom Samuel Sekuritas Lana Soelistyaningsih mengatakan, meski ada gelagat kenaikan BI rate, dia tetap berharap hal itu tidak dilakukan oleh BI. Sebab, kenaikan BI rate pada saat ini hanya akan membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia kian lambat.
Lana bilang, meski BI dan pemerintah ingin menekan CAD, namun kenaikan BI rate hanya membuat produktivitas industri di dalam negeri turun. Penurunan produktivitas ini memang akan membuat pertumbuhan ekonomi melambat yang pada akhirnya akan menekan CAD. "Namun jika pertumbuhan terlalu rendah tentu tidak bagus juga," katanya.
Gelagat BI untuk menaikkan BI rate juga dirasakan Ekonom Bank Mandiri Destry Damayanti. Destry juga sependapat dengan Lana, dan berharap BI tidak menaikkan suku bunga acuannya dalam RDG hari ini. Sebab kenaikan BI rate dipercaya tidak akan menurunkan impor terutama minyak dan gas dalam jumlah besar. Impor migas hanya bisa turun bila pemerintah membuat kebijakan tegas untuk mengurangi pemakaian BBM bersubsidi. Apalagi Destry melihat tekanan inflasi pada tahun ini juga sudah mulai terkendali bahkan sudah kembali ke pola normal. Karena itu tak ada alasan bagi BI untuk kembali mengerek BI rate.
Harapan senada juga datang dari Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual. Bagi David, saat ini tekanan dari kondisi ekonomi global tidak terlalu besar ketimbang beberapa waktu lalu. Karena itu, BI seharusnya bisa meresponnya dengan tetap menahan BI rate di level 7,25%. Pemerintah pun sebenarnya masih optimistis CAD sampai akhir tahun ini bisa berada di kisaran 3,3%-3,5% terhadap produk domestik bruto (PDB). Kondisi itu didorong oleh proyeksi kondisi ekonomi pada kuartal terakhir yang menunjukkan perbaikan. Paket kebijakan ekonomi yang keluar pada Agustus 2013 juga sudah mulai terasa dampaknya.
Sementara itu Direktur INDEF Enny Sri Hartati lebih menyoroti agar BI memberikan perhatian lebih banyak kepada nilai tukar rupiah. Agar rupiah menguat di kisaran Rp 11.000/dollar AS.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News