Sumber: Kompas.com | Editor: Dikky Setiawan
JAKARTA. Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Mirza Adityaswara mengatakan secara teori, kurs harus menggambarkan fundamental ekonomi.
Kurs yang sesuai, dikatakannya adalah sesuai dengan kondisi perekonomian pada saat itu. Mirza mengatakan pada saat Indonesia mengalami surplus neraca perdagangan dan transaksi berjalan hingga periode 2011, kurs memang sesuai dengan kondisi tersebut.
Kemudian pada saat Indonesia mengalami defisit transaksi berjalan secara konsisten, maka kurs pada kisaran Rp 9.500 hingga Rp 9.600 tidaklah cocok.
"Kemudian kurs melemah dan juga sebagai reaksi adanya tapering dan juga sebagai bauran kebijakan untuk atasi masalah current account dan kemudian menunjukkan hasilnya bahwa trade balance mulai surplus," kata Mirza pada konferensi pers di Gedung BI, Kamis (9/1/2014).
Terkait kondisi tersebut, Mirza menjelaskan yang paling penting untuk diperhatikan saat ini adalah impor non migas. Ia mengatakan migas dari sisi neraca pergangan merupakan permasalahan struktural.
"Yang sisi neraca perdagangan di minyak dan gas masalahnya lebih struktural yang tidak bisa diselesaikan dengan suku bunga dan kurs. Ke depan memang kalau kita memang ingin neraca berjalan terus membaik dan lebih signifikan membaiknya dibandingkan proyeksi, maka memang harus ada perbaikan struktural di sektor energi," ujar Mirza.
Pada kesempatan yang sama, Gubernur BI Agus DW Martowardojo menambahkan masalah kurs juga ada pengaruh dari pendalaman pasar keuangan.
"Juga ada pengaruh dari pendalaman pasar keuangan. Kondisi pasar keuangan valas kita tidak cukup dalam, tentu permintaan yang besar bisa mempengaruhi nilai tukar. Tapi secara umum itu harus tercermin di fundamental kita," ungkap dia. (Sakina Rakhma Diah Setiawan)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News