kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.539.000   0   0,00%
  • USD/IDR 15.740   20,00   0,13%
  • IDX 7.492   12,43   0,17%
  • KOMPAS100 1.159   4,94   0,43%
  • LQ45 920   6,72   0,74%
  • ISSI 226   -0,39   -0,17%
  • IDX30 475   4,06   0,86%
  • IDXHIDIV20 573   5,12   0,90%
  • IDX80 133   0,95   0,72%
  • IDXV30 141   1,37   0,98%
  • IDXQ30 158   1,02   0,65%

Berikut perkiraan ekonomi 2018 dan 2019 versi Budi Frensidy


Senin, 03 Desember 2018 / 07:38 WIB
Berikut perkiraan ekonomi 2018 dan 2019 versi Budi Frensidy
ILUSTRASI. Budi Frensidy


Reporter: Willem Kurniawan | Editor: Sanny Cicilia

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Beberapa indikator ekonomi di pasar mulai memperlihatkan perbaikan. Misalnya, Kurs rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS) yang menguat November lalu, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang menghijau, serta dana asing yang masuk ke pasar, serta berkurangnya net sell asing. 

Pengamat pasar modal Budi Frensidy mengatakan, implikasi tekanan eksternal yang negatif mulai reda, berganti efek positif. "Tetapi tetap perlu untuk diwaspadai," kata Budi, pekan lalu.

Dia melihat, kondisi perekonomian Indonesia yang tumbuh sekitar 5%, masih cukup bagus diantara negara-negara G-20. Peluang pertmbuhan masih terbuka dan selalu ada karena didukung oleh aspek demografi, pertumbuhan kelas masyarakat menengah, dan potensi ekonomi lainnya seperti pariwisata yang ditargetkan mampu mendatangkan 20 juta wisatawan mancanegara.

Untuk 2018, dia memperkirakan, pertumbuhan ekonomi sekitar 5,1%. Target itu pula dia patok untuk proyeksi laju ekonomi 2019.

Tahun depan yang akan lebih diprioritaskan adalah menjaga stabilitas negara dibanding mengejar pertumbuhan. Tekanan CAD (defisit transaksi berjalan) masih sulit untuk diatasi dan menjadi fokus pemerintah.

"Bagaimana tidak, kebutuhan minyak dan gas per hari dalam negeri sekitar 1,3 juta sampai 1,4 juta barel. Indonesia hanya mampu memproduksi sekitar 750.000 barel per hari, yang artinya Indonesia impor sekitar 600.000 barel per hari. Dibeli dalam dollar dan jual dengan rupiah," katanya.

Tranformasi dan reformasi yang lebih struktural diharapkan terjadi setelah pemilu April 2019. Dia memperkirakan, pengereman subsidi atau inflasi akan terjadi mulai April 2019. Sehingga, pertumbuhan 2019 tidak akan lebih bagus dari 2018, kecuali pemerintah bisa menemukan potensi baru.

"Jangan lupa perang dagang antara China dan AS. Negara tujuan ekspor terbesar kita adalah China untuk komoditas seperti CPO dan batubara. Jika perekonomian mereka melambat, kita juga kena imbasnya," katanya.

Berikut perkiraan pertumbuhan ekonomi versi Budi. Untuk tahun 2018, pertumbuhan ekonomi diperkirakan 5,1%, defisit transaksi berjalan 2,8% dari Produk Domestik Bruto (PDB), defisit APBN 2,0%, inflasi 3,2%. 

Selain itu, suku bunga The Fed 2,5%, suku bunga BI 6,0%, nilai tukar rupiah Rp 14.400 per dollar AS, pertumbuhan ekonomi global 3,73%, serta IHSG pada level 6.100-an.

Sedangkan untuk outlook 2019, pertumbuhan ekonomi 5,1%, defisit transaksi berjalan 2,5%, defisit APBN 1,7%, inflasi 4,0%.

Suku bunga The Fed naik menjadi 3,25%, suku bunga BI mengekor menjadi 6,75%, nilai tukar rupiah Rp 15.000 serta pertumbuhan ekonomi global 3,70%.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Survei KG Media

TERBARU
Kontan Academy
Advokasi Kebijakan Publik di Era Digital (Teori dan Praktek) Mengenal Pentingnya Sustainability Reporting

[X]
×