Reporter: Arif Wicaksono | Editor: Dadan M. Ramdan
JAKARTA. Pemerintah memastikan, Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat tidak bertujuan mengkriminalisasi amil zakat. Pemerintah menyampaikan jaminan tersebut melalui Wakil Menteri Agama Nasaruddin Umar dalam sidang lanjutan perkara uji materi alias judicial review atas UU Pengelolaan Zakat yang digelar di gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (9/10).
Nasaruddin menjelaskan, ketentuan dalam Pasal 38 dan 41 UU Pengelolaan Zakat bukan bentuk kriminalisasi terhadap para pengumpul zakat yang tidak mengantongi izin dari pemerintah. Tapi, "Lebih kepada upaya menertibkan, mewujudkan akuntabilitas, dan transparansi dalam pengelolaan zakat," tegasnya dalam persidangan.
Perlu adanya izin dari pemerintah, Nasaruddin bilang, akan membuat lembaga zakat profesional dalam mengelola dan menyalurkan zakat. Selain itu, penerapan izin bisa memperkuat posisi lembaga amil zakat (LAZ) dan pengelola zakat tradisional di pesantren, masjid, atau musala yang nantinya menjadi unit pengumpul zakat (UPZ).
Nasaruddin menambahkan, upaya pemerintah memusatkan pengelolaan zakat kepada Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) juga sudah sesuai dengan prinsip syariah yang menjamin adanya kepastian hukum. Itu sebabnya, pemerintah berpendapat, aturan main yang termaktub dalam Pasal 5 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Pengelolaan Zakat tidak untuk menghilangkan peran LAZ. Sehingga, kententuan ini tidak bertentangan dengan Pasal 28c ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (2) dan (3), serta Pasal 28H ayat (2) dan (3) Undang-Undang Dasar 1945.
Tingkatkan transparansi
Catatan saja, sejumlah lembaga amil zakat seperti Yayasan Dompet Dhuafa, Yayasan Rumah Zakat Indonesia, Yayasan Dana Sosial Al-Falah Malang, dan Yayasan Yatim Mandiri mengajukan judicial review terhadap UU Pengelolaan Zakat. Pasalnya, mereka menilai, beberapa pasal dalam beleid tersebut berpotensi mematikan sekitar 3.000 LAZ yang sudah ada, sekaligus memperkecil daya serap zakat secara nasional.
Menurut mereka, UU Pengelolaan Zakat juga berpotensi mengkriminalisasi pengelola zakat yang tidak memiliki izin dan tidak berbentuk organisasi massa (ormas), dengan ancaman sanksi pidana selama satu tahun atau denda sebesar Rp 50 juta. Dengan aturan ini, maka akan banyak LAZ tutup.
Ruhut Sitompul, Anggota Komisi III (Hukum) DPR yang juga memberikan keterangan dalam sidang judicial review ini, menjelaskan, tujuan kelahiran UU Pengelolaan Zakat adalah untuk meningkatkan transparansi dalam pengelolaan zakat. "Poin utamanya adalah adanya pertanggungjawaban dari lembaga pengelola zakat," jelas Ruhut.
Yang perlu dibangun dari kehadiran UU Pengelolaan Zakat, Ruhut mengatakan, ialah kebersamaan dalam pengelolaan zakat. "Jika selama ini ada fungsi pertanggungjawaban, tidak diperlukan UU baru, tapi faktanya tidak seperti itu," beber anggota Fraksi Partai Demokrat ini.
Cuma, Yayan Sumantri, Ketua Dewan Pembina Yayasan Rumah Zakat Indonesia, menganggap pernyataan pemerintah itu lebih kepada penafsiran pribadi. "Dari sisi tekstual dalam undang-undang jelas ada upaya merendahkan posisi LAZ dan berpotensi mematikan amil zakat tradisional," ujarnya.
Soalnya, Yayan menambahkan, kewajiban amil zakat mengantongi izin pemerintah untuk mengumpulkan zakat sangat sulit penerapannya di lapangan. Pada praktiknya, pemberi zakat memberikan zakat kepada amil lebih banyak berdasarkan pada kedekatan personal, lokasi dan kepercayaan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News