Reporter: Siti Masitoh | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Berbagai kebijakan pemerintah yang belakangan ini disoroti dinilai semakin membebani masyarakat kelas menengah. Bahkan 40% masyarakat kelas menengah terancam masuk golongan miskin, karena beban yang ditanggung tak sejalan dengan pendapatan mereka.
Teranyar yang menuai kritikan masyarakat, terkait rencana pemungutan iuran wajib tabungan perumahan rakyat (Tapera) yang paling lambat berlaku pada 2027 mendatang.
Padahal sebelumnya pendapatan masyarakat kelas menengah sudah dibebani dengan pungutan PPh 21, BPJS kesehatan, BPJS ketenagakerjaan, jaminan keselamatan kerja (JKK) dan jaminan kematian (JKM), jaminan hari tua (JHT), jaminan pensiun, hingga koperasi karyawan.
Bahkan, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara menyampaikan, sekitar 115 juta masyarakat kelas menengah atau masyarakat menuju kelas menengah rentan kembali menjadi masyarakat kelas bawah.
“Yang tadinya masuk 40% kelas menengah bisa masuk ke 40% kelompok miskin,” tutur Bhima kepada Kontan, Minggu (2/6).
Baca Juga: Pengamat: Kewajiban Tapera Bagi WNA Bisa Memperburuk Citra Indonesia di Mata Investor
Bhima menyampaikan, kekhawatiran tersebut timbul lantaran kelas menengah mengalami tekanan yang semakin berat dengan banyaknya pungutan pemerintah. Sementara dari sisi upah minimum kenaikannya relatif kecil bahkan habis jika dikurangi inflasi pangan.
Biaya yang begitu berat, ditambah banyaknya pungutan, juga bisa menurunkan konsumsi kelas menengah. Imbasnya akan berpengaruh kepada pelaku usaha, yang bisa mempengaruhi permintaan secara agregat berbagai jenis barang konsumsi.
Maka dari itu, Ia berharap aturan seperti Tapera, tidak dilanjutkan pemerintah karena momentum saat ini tidak pas dengan kebijakan tersebut.
Justru, kata Bhima, yang harus dilakukan pemerintah saat ini adalah menambah bantalan fiskal dalam bentuk perlindungan sosial untuk kelompok menengah dan menuju kelas menengah, terlebih masyarakat golongan tersebut kurang mendapat bantuan fiskal dari pemerintah.
“Porsi perlindungan sosial terhadap PDB (produk domestik bruto) masih kecil di bawah 4% jauh tertinggal dibanding negara lain di ASEAN,” ungkapnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News