kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.319.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Bayar Pajak Royalti Batubara 80%-90% Lebih Tinggi, Ada Usulan Revisi Formula HBA


Rabu, 11 Januari 2023 / 06:40 WIB
Bayar Pajak Royalti Batubara 80%-90% Lebih Tinggi, Ada Usulan Revisi Formula HBA


Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Khomarul Hidayat

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bayar royalti lebih tinggi, kalangan pengusaha batubara mengusulkan revisi formulasi Harga Batubara Acuan (HBA). Dengan mengacu pada HBA saat ini, pengusaha tambang batubara mengklaim membayarkan pajak royalti 80%-90% lebih tinggi dari yang seharusnya.

Ketua Indonesian Mining & Energy Forum (IMEF) Singgih Widagdo menjelaskan, pasca invasi Rusia ke Ukraina Februari 2022 silam, harga batubara Eropa naik tajam. Pasar Eropa pun sebatas menyerap batubara Indonesia paling sekitar 6,5 juta ton, jauh dari volume ekspor yang sekitar 480 juta

ton. Sejumlah kendala yang membuat permintaan batubara Eropa ke Indonesia tidak tinggi ialah aspek kualitas dan ongkos angkut (freight cost). Maka itu, Australia merupakan mitra yang cocok untuk pasar Eropa.

Nah, kata Singgih, mekanisme HBA yang saat ini diterapkan ialah 2 indeks dari 4 indeks yang dipakai. Yakni, indeks Australia (Newcastle dan NEX). Perinciannya, HBA terbentuk dari Globalcoal Newcastle Index (GCNC), Newcastle Export Index (NEX), Index Platts dan Indonesia Coal Index (ICI).

“Jelas 50% harga HBA terpengaruh langsung tingginya indeks batubara Australia yang terdorong dari Eropa. Bahkan, Australia pun mengikuti Indonesia, dengan menetapkan harga domestiknya. Kondisi pasti mendorong naiknya Harga Patokan Batubara (HPB),” jelasnya kepada Kontan.co.id, Selasa (10/1).

Baca Juga: Akan Ada BLU Batubara Siapa yang Dapat Untung?

Sebaliknya, China dan India yang merupakan importir terbesar Indonesia yakni hingga 54 % tentu tidak sependapat dengan penawaran harga batubara Indonesia yang naiknya tidak riil kalau didasarkan HPB. Apalagi Indonesia sangat tergantung pada China dan India. Tanpa dua negara ini ekspor batubara Indonesia akan menurun tajam.

Akhirnya, sebagian perusahaan dalam negeri menerima harga batubara jauh di bawah HPB, namun masih jauh di atas biaya penambangannya. Menurut perhitungan Singgih, ada selisih harga cukup tinggi antara harga kontrak dan HPB. Hal ini menyebabkan pajak royalti yang harus dibayar mengikuti harga tertinggi dalam kondisi saat ini jika sesuai HPB.

Adaun pajak royalti batubara berdasarkan PP No 26 Tahun 2022 untuk Harga HBA>US$ 90/ton adalah sebagai berikut;

1. GAR <4200 kcal

Pajak Royalti = 8%

2. GAR 4200-5199 kcal

Pajak Royalti = 10,5%

3. GAR > 5200 kcal

Pajak Royalti = 13,5%

Persoalannya, lanjut SInggih, perusahaan tambang menjual batubara dengan harga ICI namun pemerintah menghitung pajak royalti dengan HBA. Padahal, harga HBA lebih tinggi 80%-90% daripada harga ICI dan menyebabkan pajak royalti yang dibayar 80%-90% lebih tinggi daripada yang seharusnya.

Misalnya saja, ia mencontohkan, perusahaan A menjual batubara dengan GAR 4.190 sehingga dikenakan pajak royalti senilai 8%. Adapun harga ICI di level US$ 90/ton sedangkan HBA senilai US$ 165/ton. Maka pajak royalti yang wajib dibayar perusahaan A senilai US$ 13,2/ton (US$ 165/ton x 8%). Sedangkan, seharusnya perusahaan A hanya membayar US$ 7,2/ton (US$ 90/ton x 8%).

“Artinya perusahaan tambang batubara membayar ekstra US$ 5/ton atau 83% lebih tinggi. Artinya aktual royalty tax bukan 8% tapi 14,67% dari harga jual,” jelas Singgih.

Menurut Singgih, Kementerian ESDM tidak juga terlalu salah karena di saat terjepit dengan kondisi keuangan negara, pemerintah mau mempertahankan pendapatan negara bukan pajak (PNBP) dari sektor batubara. Caranya menahan pemasukan ini dengan mengambil langkah seperti ini dibandingkan mengeluarkan windfall tax.

“Seberapa lama Kementerian ESDM akan melakukan koreksi, tentu tergantung pada level indeks harga yang bagi perusahaan tetap sehat dan PNBP tetap meningkat. Bukan sebatas objektifitas rasional perhitungan semata, keseimbangan kepentingan pemerintah dan industri menjadi poin terpenting,” ujarnya.

Maka itu, menurut Singgih, jika HBA akan dikoreksi maka dua hal penting yang harus dilakukan. Pertama, pemerintah berani membentuk Indonesia Government Coal Index. Panel bisa saja dibentuk dari perwakilan produsen,  trader, analis, dan lainnya.

“Sebagai eksportir terbesar dunia, kedaulatan semestinya bersamaan terbangun. Ini penting mengingat pada dasarnya formulasi HBA menjadi tidak riil saat ini,” ujarnya.

Kedua, India dan China di tahun 2025 atau 2026 akan membatasi pemanfaatan batubara di level 1,3 miliar ton dan 4,3  miliar ton dan bersamaan terus memperbesar produksi batubara nasional. Menurut Singgih, di 2025 menjadi tahun kritikal Indonesia. Penurunan impor dari kedua negara tersebut yang tidak terkendali akan merugikan Indonesia, yang notabene industri terbangun dari ratusan izin usaha pertambangan (IUP).

Singgih menilai, risiko bukan saja penurunan harga, tapi penurunan produksi dan bahkan sampai matinya beberapa IUP yang menyebakan rusaknya lingkungan.

Sehingga, menurutnya, pemerintah membentuk tim yang terus memperkuat relasi pemerintah dengan pemerintah dalam meletakkan permasalahan impor ke dua negara ini dalam membatasi pemanfaatan batubara menuju arah Net Zerro Emission India di 2070 dan China di 2060.

Baca Juga: APBI: Revisi Formula Harga Batubara Acuan (HBA) Lebih Mendesak dari BLU Batubara

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×