kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,75   -27,98   -3.02%
  • EMAS1.327.000 1,30%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Basis data warga miskin pemerintah dinilai lemah


Selasa, 02 Desember 2014 / 13:20 WIB
Basis data warga miskin pemerintah dinilai lemah
ILUSTRASI. OJK menyebut bisnis pembiayaan paylater memiliki prospek yang cerah ke depannya. ?(KONTAN/Carolus Agus Waluyo)


Sumber: Kompas.com | Editor: Uji Agung Santosa

JAKARTA. Basis data warga miskin dalam program perlindungan sosial lemah. Data awal adalah survei tahun 2011, tetapi mekanisme pemutakhirannya belum andal. Pemutakhiran nasional yang semestinya dilakukan tahun ini ditunda tahun depan karena pemilihan umum.

"Pemerintah punya data 40% penduduk dengan status ekonomi termiskin di Indonesia. Basisnya adalah data tahun 2011. Dinamika terjadi dari waktu ke waktu, tetapi belum ada pemutakhiran sehingga menjadi masalah," kata Kepala Lembaga Demografi Universitas Indonesia Sonny Harry Budiutomo Harmadi di Jakarta, Senin (1/12/2014).

Seperti diberitakan Kompas kemarin, di sejumlah daerah, data penduduk miskin yang menerima bantuan Program Simpanan Kesejahteraan Sosial (PSKS) banyak yang tidak sesuai lagi. Ada nama ganda, ada yang seharusnya mendapatkan bantuan tetapi tidak mendapatkan bantuan atau sebaliknya, hingga ada warga meninggal yang masih terdata.

Prinsipnya, kata Sonny, pemerintah harus punya data penduduk yang lengkap dan termutakhirkan secara reguler. Pemutakhiran tidak perlu setiap bulan karena program perlindungan sosial juga tidak setiap bulan. Namun, setidaknya pemutakhiran bisa dilakukan setiap enam bulan sekali atau paling lama setahun sekali. Mekanisme pemutakhiran yang lama dan tidak andal menyebabkan data menjadi tidak akurat. Ujung-ujungnya program tidak optimal.

"Ke depan perlu ada definisi jelas soal arti kemiskinan yang dimaksud pemerintah. Pemutakhiran data juga sebaiknya dibuat enam bulan sekali atau setahun sekali. Teknisnya dilakukan Badan Pusat Statistik bekerja sama dengan pemerintah daerah melibatkan musyawarah desa dan kelurahan," tutur Sonny.

Model pemutakhiran data yang dilakukan selama ini oleh musyawarah desa dan kelurahan tidak cukup. Faktanya, banyak kabupaten dan kota tidak melakukan pemutakhiran. Selain itu, desa dan kelurahan tak punya pegangan definisi kemiskinan.

"Oleh karena itu, harus dibangun sistem atau mekanisme pemutakhiran secara reguler. Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS) pun semestinya tidak ditunda atas alasan suksesi,” kata Sonny.

Ditunda karena pemilu

Secara terpisah, Kepala Departemen Komunikasi dan Informasi Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan Ruddy Gobel menyatakan, PPLS yang mendata 40% penduduk termiskin di Indonesia dilakukan setiap tiga tahun. Pendataan terakhir dilakukan Agustus 2011.

Semestinya, lanjut Ruddy, pemutakhiran data nasional dilakukan tahun 2014. Namun, atas alasan adanya perhelatan suksesi kepemimpinan nasional, PPLS ditunda menjadi tahun 2015.

Meski pemutakhiran tingkat nasional dilakukan per tiga tahun, Ruddy mengatakan, tetap ada mekanise pemutakhiran berupa musyawarah desa atau kelurahan. Waktu pelaksanaannya diserahkan kepada setiap daerah. Tahun 2013 terdapat 500.000 keluarga sasaran lama yang dikeluarkan dari daftar dan digantikan dengan 500.000 keluarga sasaran baru. Untuk itu, fungsi pemutakhiran data oleh musyawarah desa dan kelurahan sangat krusial.

Sementara itu, dari Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, dilaporkan, banyak kesalahan terjadi pada data penerima PSKS. Sebagian perangkat dusun dan desa menganggap hal ini terjadi karena pendataan tidak melibatkan pemerintah desa setempat.

Kepala Dusun Tegalombo, Desa Ngargoretno, Kecamatan Salaman, Kabupaten Magelang, Hardono mengatakan, penyaluran dana PSKS bagi dua warganya sempat terhambat karena mereka terdata sebagai penerima PSKS di dusun lain.

"Kami menerima laporan kesalahan data ini dari dusun lain. Setelah mengurus dan mendapatkan surat pengantar dari desa, barulah warga kami bisa mendapatkan bantuan dana PSKS," ujarnya.

Tidak hanya itu, ia menilai pendataan kurang akurat karena tidak menembus seluruh pelosok dusun.

Hardono mengatakan, ada dua warga miskin di Dusun Tegalombo yang tak terdata sebagai penerima dana PSKS karena tinggal dalam gubuk di jalan setapak yang sempit dan susah dilalui kendaraan.

Di Dusun Candi Tengah, Desa Sengi, Kecamatan Dukun, data penerima PSKS pun dipertanyakan karena berbeda dengan data penerima beras untuk keluarga miskin (raskin). Data penerima raskin terdata sembilan orang, sedangkan pada data penerima dana PSKS hanya tujuh orang.

Di Desa Bojong, Kecamatan Mungkid, kesalahan data diduga terjadi karena petugas pendataan tidak memperbarui data warga miskin.

"Sebagian dari mereka yang terdata sebagai penerima dana PSKS saat ini berasal dari keluarga mampu, memiliki kendaraan bermotor lebih dari satu unit," ujar Kepala Desa Bojong Widodo.

Dengan kondisi tersebut, dia pun meminta warga penerima dana PSKS untuk bersikap bijak, dengan membagi dana yang diterimanya untuk kemudian dibagi kepada warga miskin lain.

Di Desa Bojong terdapat 297 warga yang terdata sebagai penerima dana PSKS. Padahal, jika data tersebut diperbarui, jumlah warga miskin yang layak menerima dana PSKS mencapai 400 keluarga.

Sementara itu, sejumlah warga Pulau Pari di Kabupaten Kepulauan Seribu, DKI Jakarta, mengeluhkan pemotongan dana PSKS. Pemotongan tersebut berdasarkan kesepakatan untuk menghindari kecemburuan warga akibat data yang tak akurat.

Warga sekaligus Ketua Forum Pemuda Wisata Pesisir Pulau Pari, Fatoni (43) mengatakan, warga seharusnya mendapatkan jatah dana PSKS dua bulan sebesar Rp 400.000. Namun, mereka hanya menerima Rp 300.000.

"Dana dipotong Rp 100.000 untuk dikumpulkan dan dibagi ke warga lain yang tak terdata," ujarnya.

Menurut Fatoni, sebagian warga terpaksa merelakan pemotongan itu. Namun, mereka minta pemerintah memperbaiki data acuan. Sebab, ada warga yang secara ekonomi relatif mapan mendapatkan bantuan dana. Sebaliknya, sejumlah keluarga yang tak mampu justru tidak terdata.

Bupati Kepulauan Seribu Asep Syarifudin mengatakan, pemotongan dilakukan berdasarkan kesepakatan warga, kelurahan, dan lembaga masyarakat kelurahan karena data acuan kurang akurat. Pemerataan ditempuh untuk menghindari konflik antarwarga. Namun, pihaknya tidak melarang juga tidak menganjurkan pemotongan dan pemerataan dana bantuan tersebut.

Senada dengan warga, Asep berharap Badan Pusat Statistik memperbaiki dan memutakhirkan data acuan penerima sejumlah program bantuan sosial pemerintah. Selama ini masalah timbul karena data tidak akurat. Asep meminta pemutakhiran setidaknya melibatkan aparat di tingkat kelurahan, rukun warga, dan rukun tetangga.

”Saya minta kepada warga untuk tidak ikut memanipulasi data, dengan berpura-pura miskin hanya untuk mendapatkan bantuan pemerintah. Seharusnya tak ada pemotongan dan pemerataan bantuan seperti itu,” kata Asep. (EGI/LAS/HRS/MKN)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Practical Business Acumen

[X]
×