Reporter: Grace Olivia | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah Indonesia memaparkan strategi pembangunan infrastruktur, stabilitas fiskal dan moneter Indonesia dalam rangka Indonesia Infrastructure Investment Forum (IIIF) 2019. Ihwal tersebut dibeberkan dalam Joint Meeting dengan Official Monetary and Financial Institutions Forum (OMFIF) di London, sejak Senin (1/7).
Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro dan Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo turut hadir dalam acara tersebut,
Dalam pemaparannya, Bambang menuturkan, pendapatan domestik Indonesia mengalami peningkatan yang signifikan sejak 2018, mencapai Rp 1.943,7 triliun atau sebesar 13,1% dari PDB (produk domestik bruto) akibat reformasi kebijakan dan fiskal.
"Hingga saat ini, pendapatan dari pajak masih menjadi sumber utama pendapatan negara,” ujar Bambang seperti dikutip dalam keterangan resmi yang diterima Kontan.co.id, Selasa (2/7).
Bambang mengatakan, Indonesia akan mengandalkan intensifikasi pajak seperti tarif progresif, kerja sama bilateral, dan terobosan insentif pajak serta ekstensifikasi pajak seperti perjanjian pajak dan bilateral untuk perdagangan antar perbatasan dan transaksi digital.
Bersamaan dengan itu, alokasi anggaran diharapkan tetap berkontribusi terhadap pembangunan nasional dan pertumbuhan ekonomi yang inklusif. Semisal, peningkatan transfer ke daerah dan dana desa juga turut berkontribusi untuk akses layanan publik yang lebih baik, pengembangan sumber daya manusia, dan daya saing lokal.
Kemudian, kondisi fiskal Indonesia yang menurut Bambang kredibel dan prudent. “Di 2018, rasio utang Indonesia masih lebih rendah dibandingkan negara lainnya, yakni sebesar hampir 30%. Dengan defisit yang relatif sama, Italia dan Meksiko misalnya, memiliki rasio utang lebih dari dua kali lipat dibanding Indonesia,” tegasnya.
Pada Mei 2019, rasio utang berada di posisi 29,7% terhadap PDB. Sementara realisasi utang pada Januari-Mei 2019 mencapai US$ 108,1 miliar. Mayoritas utang didominasi Surat Berharga Negara (SBN) sebesar US$ 209,71 miliar atau sebesar 82,60% dari total utang.
Kondisi makro pun dinilainya cukup stabil, dengan kebijakan fiskal dan moneter yang berkontribusi terhadap inflasi yang rendah dan stabil.
Di akhir 2018, inflasi Indeks Harga Konsumen tercatat 3,13% (year on year), masih berada dalam target. “Di 2019, rupiah pun diprediksi terus menguat akibat kontribusi dari outlook ekonomi yang positif, sinyal The Fed (Bank Sentral AS) untuk memotong tingkat suku bunga, dan perbaikan peringkat investasi Indonesia oleh S&P Ratings,” tutur Bambang.
Terkait investasi, Bambang mengakui Indonesia masih perlu biaya besar untuk memenuhi target. Untuk meningkatkan porsi infrastruktur terhadap PDB dari 43% di 2017 menjadi 50% PDB di 2024, Indonesia membutuhkan investasi infrastruktur sebesar US$ 429,7 miliar atau sebesar 6,1% PDB pada periode 2020-2024.
“Jumlah ini meningkat 20% dibandingkan kebutuhan investasi infrastruktur sebesar US$ 359,2 miliar pada 2015-2019,” tuturnya.
Oleh sebab itu, pemerintah kian membutuhkan peran sektor swasta dalam pembangunan infrastruktur melalui skema Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) juga Pembiayaan Investasi Non Anggaran Pemerintah (PINA).
Hingga saat ini, ada total 83 proyek yang tercapai dengan skema KPBU yang mencapai US$ 40 miliar. Sementara untuk skema PINA, tercipta 30 proyek dengan nilai total sebesar US$ 50 miliar.
Bambang mengatakan, skema alternatif tersebut terus didorong sebab Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) akan lebih banyak dialokasikan untuk sektor yang berdampak langsung pada masyarakat dalam jangka pendek.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News