kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.528.000   8.000   0,53%
  • USD/IDR 16.240   -40,00   -0,25%
  • IDX 7.037   -29,18   -0,41%
  • KOMPAS100 1.050   -5,14   -0,49%
  • LQ45 825   -5,35   -0,64%
  • ISSI 214   -0,85   -0,40%
  • IDX30 423   -1,15   -0,27%
  • IDXHIDIV20 514   0,87   0,17%
  • IDX80 120   -0,69   -0,57%
  • IDXV30 125   1,36   1,09%
  • IDXQ30 142   0,26   0,18%

Bank DBS cabut upaya PKPU terhadap Baruna Shipping


Minggu, 12 April 2015 / 15:31 WIB
Bank DBS cabut upaya PKPU terhadap Baruna Shipping
ILUSTRASI. 4 Manfaat Masker Madu untuk Wajah.


Reporter: Jane Aprilyani | Editor: Yudho Winarto

JAKARTA. PT Bank DBS (Development Bank of Singapore) mencabut permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) terhadap PT Baruna Shipping Line dan Jeo Tjin Bok dengan tagihan sebesar Rp 63,46 miliar. Pencabutan PKPU ini pun ditegaskan oleh putusan Majelis Hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.

Berdasarkan situs resmi Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, perkara No. 25/PKPU/2015/PN.Jkt.Pst tersebut telah dicabut pada 26 Maret 2015. Ketua majelis hakim Bambang Kustopo memutus pencabutan gugatan. "Menyatakan sah pencabutan permohonan yang dilakukan oleh penggugat" tegas Bambang dalam amar putusan yang dikutip KONTAN, Minggu (12/4).

Diketahui bahwa ketika ditetapkan pencabutan gugatan di Pengadilan Niaga, perkara baru memasuki tahap jawaban dari para termohon. Saat dikonfirmasi kepada kuasa hukum PT Bank DBS Indonesia, Syahril Ridho belum dapat memberi konfirmasinya.

Sebelumnya, dalam berkas permohonan perkara, Bank DBS Indonesia mengklaim memiliki piutang kepada termohon I yakni PT Baruna Shipping Line dan penjaminnya yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih sejak 1 Februari 2015. Dijelaskan piutang berasal dari sejumlah fasilitas pinjaman perbankan yang diberikan kepada termohon I dalam rentang waktu 2009 hingga 2010.

Baruna Shipping Line sendiri merupakan perusahaan yang bergerak di bidang perkapalan untuk mengangkut barang, sedangkan Jwo Tjin Bok selaku penjamin pribadi.

Kasus bermula ketika Bank DBS (pemohon) memberikan Fasilitas Pinjaman Perbankan dalam bentuk Amortising Term Loan Facility sebesar Rp 35 miliar yang tertuang dalam Akta Perjanjian Fasilitas Perbankan No. 135 pada 26 November 2009. Fasilitas pinjaman ini diberikan guna pengembangan usaha angkutan laut termohon I untuk membeli kapal. Setelah diterimanya fasilitas pinjaman tersebut, pada 8 Februari 2010, para pihak sepakat menandatangani perubahan pertama dan perpanjangan atas Perjanjian Fasilitas Perbankan No. 044/PFPA-DBSI/II/2010.

Kemudian, termohon I pada 29 Oktober 2010 mendapatkan penambahan fasilitas pinjaman perbankan berdasarkan Akta Perjanjian Fasilitas Perbankan No. 195 mengenai perubahan dan penegasan kembali perjanjian fasilitas perbankan yang dibagi ke dalam empat jenis fasilitas. Amortizing Term Loan Facility (ATL 1) maksimum sebesar Rp 30,9 miliar, ATL 2 maksimum Rp 38 miliar, ATL 3 maksimum Rp 6 miliar, dan Uncommitted revolving credit facility maksimum Rp 5 miliar.

"Fasilitas pinjaman tersebut disepakati dalam Perjanjian Fasilitas Perbankan No. 441/PFPA-DBSI/IX/2011 pada 26 Oktober 2011, No. 084/PFPA-DNSI/III/2012 pada 19 Maret 2012, No. 550/PFPA-DBSI/X/2012 tertanggal 25 Oktober 2012, dan No. 206/PFPA-DBSI/III/2013 tertanggal 27 Maret 2013" ujar Syahrial seperti dikutip di dalam berkas permohonan.

Namun, terhitung bulan November 2013, termohon I belum membayar kewajibannya, baik pokok, bunga, maupun denda. Untuk mengingatkan atas fasilitas pinjaman yang telah jatuh tempo tersebut, pemohon PKPU telah mengirimkan surat somasi sebanyak tiga kali sejak 11 Desember 2013 hingga 27 Januari 2014 yang isinya memperingatkan kepada termohon I apabila tidak membayar, maka pemohon PKPU akan melakukan segala tindakan hukum.

Selain, memberikan surat pemberitahuan tagihan, antara pemohon PKPU dan termohon I juga telah beberapa kali mengadakan pertemuan pada 11 Maret 2014, 17 September 2014, dan terakhir 17 November 2014. Meskipun telah dilakukan pembicaraan antar pihak, termohon I tetap tidak menyelesaikan kewajibannya yang telah jatuh tempo tersebut.

Dengan demikian, termohon I dinyatakan memiliki utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih senilai Rp 63,460 miliar dengan rincian utang pokok sebesar Rp 53,532 miliar dan bunga sejumlah Rp 9,927 miliar. Pemohon PKPU memperkirakan termohon I dan termohon II, Jeo Tjin Bok sebagai penjamin pribadi, tidak dapat melanjutkan pembayaran utangnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective Bedah Tuntas SP2DK dan Pemeriksaan Pajak (Bedah Kasus, Solusi dan Diskusi)

[X]
×