Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Otoritas pajak perlu mencermati kondisi perekonomian Indonesia yang bisa menggerus penerimaan pajak pada tahun ini.
Hal ini dikarenakan faktor daya beli masyarakat dan penurunan harga komoditas akan menjadi tantangan kantor pajak dalam mencapai target yang telah ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024.
Misalnya saja, untuk pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penjualan barang mewah (PPnBM) hanya terkumpul Rp 155,79 triliun. Angka ini turun 16,1% dibandingkan periode sama pada tahun lalu sebesar Rp 185,7 triliun.
Begitu juga dengan kinerja PPN Dalam Negeri (DN) yang secara neto mengalami kontraksi sebesar 23%. Padahal, jenis pajak ini menjadi kontribusi terbesar dalam penerimaan pajak periode laporan.
Kontraksi ini disebabkan adanya peningkatan restitusi pada sektor industri pengolahan, perdagangan dan pertambangan terutama yang berasal dari kompensasi lebih bayar tahun-tahun sebelumnya.
"Ini harus kita lihat secara hati-hati. Artinya ada koreksi yang mempengaruhi penerimaan negara. Koreksi dari kegiatan ekonomi, apakah dari sisi harga komoditas mapupun kegiatan ekonomi yang terefleksikan dalam penerimaan negara," kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati belum lama ini.
Baca Juga: Jelang Deadline, Masih Banyak Perusahaan Belum Lapor SPT Tahunan
Di sisi lain, PPN impor juga terkontraksi sejalan dengan melemahnya aktivitas impor. Tercatat, secara bruto jenis pajak tersebut mengalami kontraksi sebesar 2,8%. Padahal pada periode yang sama pada tahun lalu masih tumbuh 23,7%.
Begitu juga secara neto, PPN impor terkontraksi 2,8%, padahal pada periode sama tahun lalu yang tumbuh 11,2%.
Direktur Eksekutif MUC Tax Research Wahyu Nuryanto mengatakan terkoreksinya pertumbuhan PPN memang menjadi catatan yang perlu direspon dengan serius. Hal ini dikarenakan porsinya terhadap penerimaan pajak secara keseluruhan sangat besar, bahkan terbesar dibandingkan jenis pajak lainnya.
Memang, pemerintah menyebut alasan penurunan penerimaan PPN dikarenakan adanya restitusi. Hal ini didasarkan pada data penerimaan PPN secaraa bruto yang masih tumbuh positif yakni sebesar 5,8%.
Namun, menurutnya, perlu dilihat kemungkinan lain penyebabnya selain restitusi. Sebab, jika dibandingkan antara kinerja penerimaan PPN periode Januari hingga Maret 2024 dengan kinerja penerimaan PPN pada periode yang sama tahun 2023 juga mengalami penurunan.
Pada periode Januari hingga Maret 2023, penerimaan PPN secara bruto mampu tumbuh 34,7% dan pertumbuhan netonya lebih tinggi yaitu 67,3%.
"Artinya, tanpa adanya restitusi pun, kinerja penerimaan PPN masih lebih rendah dari tahun lalu. Hal ini menunjukkan bahwa selain masalah restitusi penerimaan PPN juga dipengaruhi oleh melemahnya transaksi perdagangan," ujar Wahyu kepada Kontan.co.id, Sabtu (27/4).
Menurutnya, hal ini disebabkan oleh adanya penurunan daya beli atau kinerja korporasi yang tertekan, baik korporosi yang bergerak di sektor perdagangan maupun manufaktur.
Sementara data penerimaan berdasarkan kinerja sektoral, penerimaan bruto sektor perdagangan pada Januari hingga Maret 2023 tumbuh sebesar 15,9%, sementara pada tahun 2024 turun tipis menjadi 11,3%.
Kemudian pada industri pengolahan, pada tahun 2023 secara bruto tumbuh 23,8% dan pada tahun 2024 hanya tumbuh 0,8%. Artinya, terjadi penurunan kinerja perpajakan yang signifikan di sektor manufaktur.
"Karena itu, ke depan, jika tidak dilakukan mitigasi di kedua sektor ini maka penerimaan PPN bisa terus tergerus," terang Wahyu.
Baca Juga: Setoran Pajak Konsumsi Terkontraksi 16,1%, Sri Mulyani Waspadai Hal Ini
Kendati begitu, Konsultan Pajak di PT Botax Consulting Indonesia Raden Agus Suparman memperkirakan setoran PPN akan mengalami peningkatan kedepannya seiring dengan kondisi politik yang semakin menguat. Pasca pilpres 2024, para pelaku bisnis akan semakin bergairah dibandingkan dengan sebelum penetapan pemenang Pilpres 2024.
"Sebelum penetapan pemenang pebisnis cenderung menunggu. Setelah ada kepastian pemenang, aktivitas bisnis lebih bergairah. Apalagi presiden terpilih memang didukung oleh banyak konglomerat," kata Agus.
Selain itu, efek perang di Timur Tengah dan Ukraina juga diprediksi akan meningkatkan harga migas. "Selama ini, penerimaan pajak nasional termasuk PPN, meningkat seiring dengan meningkatnya harga migas," katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News