kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.499.000   -40.000   -2,60%
  • USD/IDR 15.935   -60,00   -0,38%
  • IDX 7.246   -68,22   -0,93%
  • KOMPAS100 1.110   -11,46   -1,02%
  • LQ45 880   -11,76   -1,32%
  • ISSI 222   -0,92   -0,41%
  • IDX30 452   -6,77   -1,48%
  • IDXHIDIV20 545   -7,80   -1,41%
  • IDX80 127   -1,32   -1,03%
  • IDXV30 136   -1,06   -0,77%
  • IDXQ30 150   -2,29   -1,50%

AS ubah status negara Indonesia, Menkeu: Tak ada hubungan ke bunga utang


Senin, 24 Februari 2020 / 20:43 WIB
AS ubah status negara Indonesia, Menkeu: Tak ada hubungan ke bunga utang
ILUSTRASI. Menkeu Sri Mulyani Indrawati.


Reporter: Grace Olivia | Editor: Herlina Kartika Dewi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Amerika Serikat (AS) telah mengeluarkan Indonesia dari daftar developing and least-developed countries. Akibatnya, special differential treatment (SDT) yang tersedia dalam WTO Agreement on Subsidies and Countervailing Measures tidak lagi berlaku bagi Indonesia.

Namun Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memastikan, kebijakan AS tersebut hanya berlaku spesifik dalam konteks Countevailing Duties (CVD) pada perdagangan barang dan jasa antara AS dan Indonesia. 

Ia juga menegaskan bahwa kebijakan itu berbeda sama sekali dengan fasilitas generalized system of preference (GSP).

Baca Juga: Kemendag: Perubahan status Indonesia jadi negara maju tak ubah fasilitas GSP dari AS

“CVD ini berbeda dengan GSP. Jadi tidak ada hubungannya. Selama ini juga hanya sekitar lima komoditas yang menikmati (CVD) jadi sebetulnya tidak terlalu besar sekali pengaruhnya pada perdagangan kita,” tutur Sri Mulyani usai menghadiri Rapat Koordinasi di kantor Kemenko Perekonomian, Senin (24/2). 

Sri Mulyani juga menampik bahwa pencabutan status negara berkembang oleh AS itu mempengaruhi bunga pinjaman atau utang Indonesia. “Tidak ada hubungannya itu sama sekali,” tandasnya. 

Di sisi lain, Sri Muyani mengatakan bahwa Indonesia memang sudah dianggap sebagai salah satu negara berpendapatan menengah (lower middle-income country). Oleh karena itu, daya saing perekonomian juga harus ditingkatkan untuk menciptakan efisiensi. 

“Ini memang yang menjadi pusat perhatian Presiden yaitu produktivitas, daya saing, konektivitas, karena itu semua yang akan menciptakan biaya produksi yang lebih efisien,” tandasnya. 

Sri Mulyani berharap, kebijakan AS baru-baru ini memang hanya fokus pada konteks CVD. 

Sementara terkait fasilitas GSP, menurutnya pemerintah masih dalam upaya untuk mendapatkan hasil terbaik yaitu mempertahankan fasilitas itu seiring dengan upaya untuk meningkatkan daya saing industri di dalam negeri. 

Baca Juga: Selain Indonesia, ini sederet negara yang dicabut AS dari daftar negara berkembang

Deputi Bidang Koordinasi Kerja Sama Ekonomi Internasional Kemenko Perekonomian Rizal Affandi Lukman mengatakan, pihak Kantor Perwakilan Perdagangan AS (USTR) telah mengonfirmasi bahwa keputusan AS terhadap status Indonesia tidak ada pengaruhnya terhadap fasilitas GSP. 

Bahkan, Rizal mengaku, pembahasan soal GSP dengan USTR sejauh ini masih berjalan positif dan menuju tahap finalisasi. 

“Jangan terlalu khawatir dengan isu GSP akan disetop. Justru pembahasan dengan USTR positif dan mudah-mudahan nanti ada berita positif juga soal GSP ini,” tutur Rizal. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Kiat Cepat Baca Laporan Keuangan Untuk Penentuan Strategi dan Penetapan Target KPI Banking and Credit Analysis

[X]
×