kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45982,64   -7,73   -0.78%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Aprindo: Masyarakat kelas menengah atas masih menahan belanja


Minggu, 08 November 2020 / 14:20 WIB
Aprindo: Masyarakat kelas menengah atas masih menahan belanja
ILUSTRASI. Roy N. Mandey, Ketua Umum Aprindo Tahun Politik, Aprindo Berharap Pertumbuhan Ritel Capai Dobel Digit.foto/KONTAN/maizal walfajri


Reporter: Ratih Waseso | Editor: Handoyo .

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), Roy N Mandey menyebut bahwa, sektor usaha ritel hingga saat ini belum pulih ke posisi normal.

Kondisi manis pada sektor ritel saat pandemi hanya terjadi pada awal diumumkannya bahwa Covid-19 sudah masuk ke Indonesia di awal Maret silam. Dimana pada awal pandemi sempat terjadi panic buying kebutuhan sehari-hari di masyarakat.

"Setelah itu sampai hari ini kalau ditanya kondisinya, belum kembali atau belum dalam posisi yang normal," kata Roy salam diskusi virtual Polemik Trjaya pada Sabtu (7/11).

Adapun terkait daya beli masyarakat, Roy menjelaskan kini terjadi fenomena dimana kelompok menengah bawah yang menurun daya beli akibat pendapatan yang berkurang, dan kelompok menengah atas yang menahan belanja lantaran membatasi dalam beraktivitas di luar rumah karena pandemi. Hal itu lantaran kelompok masyarakat ini dinilai lebih memperhatikan pada isu kesehatan.

"Kalau menengah ke atas bukan masalah daya beli tapi menahan belanja. Mereka itu lebih memiliki aware terhadap bagaimana kesehatannya. Mereka sangat mengikuti berita media bagaimana zona merah, hijau dan bagaimana perkembangan, lalu PSBB. Ketika mereka keluar rumah, itu suatu keputusan yang sangat luar biasa," jelas Roy.

Kemudian kelompok masyarakat menengah kebawah dengan kondisi pandemi akan lebih memprioritaskan pada pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari. Dimana kelompok ini menjadi yang banyak merasakan dampak pandemi seperti dirumahkan yang membuah upah yang diterima tidak 100%, bahkan sampai terkena pemutusan hubungan kerja. Hal itu yang membuat pendapatan dari kelompok ini bekurang hingga akhirnya berimbas pada daya beli.

Baca Juga: Omnibus Law Cipta Kerja Menyemai Asa Pelaku Usaha, tapi Menuai Panen Uji Materi ke MK

Roy menambahkan, pada saat pemberlakuan PSBB total, kunjungan pada ritel modern hanya seperlima dari kondisi normal. Sementara itu ketika status berubah menjadi PSBB transisi kunjungan sedikit naik menjadi 25% hingga 30% dari biasanya.

Roy menjelaskan, terkait jenis barang yang menjadi jawara ketika pandemi, ialah kebutuhan yang berkaitan dengan kebersihan dan kesehatan. Kelipatan permintaan pada produk kebersihan dan kesehatan bisa mencapai 150%-200% dari kondisi normal. Tak hanya itu, produk makanan dan minuman siap saji juga turut meningkat.

Jika dilihat dari strata kebutuhan, Roy mengungkapkan untuk kebutuhan tersier dinilai Aprindo hilang selama masa pandemi Covid-19. Selain itu basket size masyarakat juga mengecil, misalnya dalam perhitungan peritel seseorang yang masuk ke supermarket akan mengeluarkan rata-rata Rp 200.000 - Rp 250.000 untuk belanja kini kemungkinan hanya Rp 100.000.

"Tersier ini yang hilang banget. Orang biasanya ke toko belanja yang nggak direncanakan lebih besar daripada merencanakan artinya ketika lihat diskon buy one get one akhirnya belanja, ini impuls buying. Jadi impuls buying ilang dan basket size mengecil. Higienitas, barang kesehatan dan makanan minuman meningkat, selain itu ngga diperhatikan apa itu furnitur, pakaian atau apa," kata Roy.

Selanjutnya: Pengusaha ingatkan potensi gelombang PHK saat upah minimum naik

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×