Reporter: Siti Rohmatulloh | Editor: Dessy Rosalina
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Asian Development Bank (ADB) khawatir rencana kenaikan suku bunga The Fed berpotensi tingkatkan arus modal keluar dan biaya pinjaman di sejumlah negara Asia. Ekonom akui potensi outflow tak terhindarkan.
Komitmen pemerintah terhadap kebijakan yang dibentuk diharapkan dapat menjadi tameng menghadapi kemungkinan situasi yang akan datang.
Rencana kenaikan Fed Fund Rate (FFR/suku bunga acuan bank sentral Amerika) menjadi perhatian berbagai negara, termasuk Indonesia. Antisipasi menjadi hal wajib yang harus dipersiapkan.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Eko Listiyanto mengingatkan Indonesia punya modal inflasi rendah dan tren cadangan devisa yang meningkat.
Akan tetapi, harus diingat kepemilikan surat berharga negara oleh asing cukup tinggi karena tingkat suku bunga di Indonesia memang menggiurkan. Dia bilang, dalam jangka waktu sangat pendek, baik inflasi rendah maupun tren cadangan devisa tidak cukup untuk memengaruhi investor tidak outflow.
"Dunia usaha juga sudah 'price in' tetapi memang tetap saja bagi negara berkembang termasuk Indonesia potensi outflow tak terhindarkan," kata Eko, Minggu (3/12).
Meski demikian, ia menduga outflow tersebut terbatas karena bank sentral dengan cadangan devisa yang cukup 'besar' menurutnya akan lebih aktif di pasar. Sementara, risiko kenaikan suku bunga pinjaman sepertinya masih kecil karena laju kredit sedang melambat.
Kinerja rupiah akhir tahun ini akan jadi tolak ukur keberhasilan bank sentral Indonesia. "Jika realisasi target-target fiskal dapat tercapai, ini bisa menjadi pemupuk optimisme investor," tambahnya.
Risiko justru datang dari kebijakan pemerintah. Agresivitas menarik dana lewat Surat Utang Negara (SUN) di satu sisi kata Eko memang mendatangkan likuiditas bagi Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN), tetapi di sisi lain juga membuka risiko meningkatnya outflow.
Hubungannya dengan dunia investasi dan bisnis, risiko akibat kenaikan suku bunga The Fed dapat diminimalisasi dengan perbaikan iklim usaha di Indonesia. Menurut ekonom INDEF lainnya, Rina Oktaviani, "memang ada risiko kecuali risiko politik, ekonomi dan sosial Indonesia berkurang".
Minimalisasi risiko tersebut akan membuat investor berpikir investasi di Indonesia tetap lebih menguntungkan. Akan tetapi, diperlukan sinkronisasi kebijakan oleh pemerintah.
"Sinkronisasi kebijakan masih kurang," kata Rina dihubungi melalui telepon pada Minggu (3/12).
Selain itu, konsistensi antara ucapan dan tindakan elite politik dan dari para pemangku kepentingan pun menjadi perhatian yang dapat memengaruhi pandangan luar terhadap kondisi dalam negeri Indonesia.
Rina menambahkan, kebijakan pemerintah menggenjot investasi saat ini sudah bagus. Hanya saja, berbagai kebijkana regional yang masih menghambat investasi masih harus dibenahi untuk mengurangi risiko berinvestasi.
Keputusan The Fed dinilainya termasuk faktor external imbalance yang hanya bisa diantisipasi Indonesia. Oleh sebab itu, upaya membenahi iklim investasi dalam negeri menjadi hal penting yang dapat dilakukan Indonesia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News