Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Anggaran program makan siang gratis yang kabarnya akan dipangkas menjadi Rp 7.500 dari semula Rp 15.000 per anak jauh dari kata ideal. Hal ini coba dibuktikan dengan prototipe yang dilakukan sejumlah lembaga dengan memanfaatkan pangan lokal di sejumlah wilayah.
Ahmad Arif, Co-Inisiator Nusantara Food Biodiversity menyatakan, pihaknya bersama dengan Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) pernah mencoba melakukan prototipe bagaimana menyediakan makan siang berbasis pangan lokal di Pulau Lembata dan Pulau Alor.
Dalam percobaan itu, pihaknya memanfaatkan pangan lokal dan sumber daya manusia (SDM) setempat seperti ibu-ibu untuk memasak demi menekan kebutuhan budget. Hasilnya, minimal dibutuhkan sekitar Rp 10.000 hingga Rp 15.000 untuk menyiapkan seporsi makanan yang mengandung gizi seimbang.
“Makanan itu seluruhnya adalah pangan lokal, proteinnya dari ikan, karbohidratnya dari jagung, ubi, singkong dan lainnya,” ujarnya ditemui Kontan.co.id di JCC, Sabtu (18/9/2024).
Baca Juga: Soal Anggaran Quick Win, Ekonom Sebut Tak Berdampak pada Pertumbuhan Ekonomi
Nah bayangkan jika bahan baku program makan siang gratis ini memanfaatkan komoditas pangan di luar wilayah program sasaran, misalnya menyediakan beras di Nusa Tenggara Timur (NTT)-sebagai penghasil jagung, ubi, dan sorgum-bisa jadi anggaran yang dibutuhkan semakin besar.
Arif menegaskan, seharusnya program makan siang ini sekaligus untuk meningkatkan pangan lokal yang akan memberikan manfaat bagi petani setempat. Indonesia bisa bercermin dari Brasil yang mengkhususkan 30% anggaran program makan siang mereka untuk membeli bahan pangan lokal dari petani.
“Nah kalau itu dilakukan, menurut saya itu bisa bukan hanya makan bergizi untuk anak, tapi juga untuk meningkatkan ekonomi lokal di situ,” kata Arif.
Ironisnya, berdasarkan data yang dihimpun Nusantara Food Biodiversity, saat ini sebagian besar sumber pangan yang tersebar di sejumlah wilayah di Indonesia sudah menghilang. Hal ini disebabkan penyeragaman pangan yang terjadi sejak lama.
Baca Juga: Ekonom Celios: Pajak Kekayaan 50 Orang Super Kaya RI Capai Rp 81,6 Triliun per Tahun
Sebagai gambaran saja, konsumsi karbohidrat di Indonesia hampir 75% dari beras, dan 25% dari terigu. Kedua komoditas ini masih diimpor, terkhusus terigu. Sedangkan Indonesia sendiri menyimpan sumber karbohidrat lokal seperti sagu, jagung, dan umbi-umbian.
Potensi sagu di Indonesia sangat melimpah, 85% dari sagu dunia ada di sini. Namun sayang, kata Arif, justru saat ini tidak termanfaatkan.
Rina Syawal, Direktur Penganekaragaman Konsumsi Pangan, Badan Pangan Nasional (Bapanas) menyatakan banyak mendapat masukan dari berbagai pihak bahwa program makan siang gratis bergizi ini harus memanfaatkan potensi sumber daya lokal.
“Penyedianya lokal dan kemudian gizinya juga gizi seimbang, tidak meninggalkan masyarakat setempat dan segala macamnya. Jadi kalau secara teknis ada yang akan menyusun program,” ujarnya saat ditemui di lokasi yang sama.
Yang terang, pemanfaatan pangan lokal dapat meringankan biaya yang dibutuhkan untuk program ini, khususnya dari sisi distribusi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News