Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Penyerapan insentif pajak penghasilan (PPh) Pasal 21 hingga pertengahan Juni lalu masih rendah. Hingga 20 Juni 2020, basis pajak karyawan tersebut baru 2,57% dari total anggaran dukungan usaha dalam program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).
Data Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menunjukkan, realisasi insentif PPh Pasal 21 untuk dua bulan masa pajak hanya Rp 660 miliar. Angka tersebut setara 2,57% dari total alokasi insentif sebesar Rp 25,66 triliun.
Secara umum, jumlah anggaran insentif dunia usaha sebesar Rp 120,61 triliun. Adapun realisasi penyaluran stimulus dalam dua kali masa pajak itu, baru 10,14% atau setara Rp 12,23 triliun.
Baca Juga: Kemenparekraf dorong pelaku usaha manfaatkan insentif pemerintah
Dari anggaran itu, insentif pajak karyawan memiliki alokasi paling besar dibanding empat insentif lainnya. Pertama, pembebasan PPh Pasal 22 impor senilai Rp 14,75 triliun. Kedua, diskon 30% PPh Pasal 25 sebesar Rp 14,4 triliun.
Ketiga, pendahuluan restitusi pajak pertambahan nilai (PPN) senilai Rp 5,8 triliun. Keempat penurunan tarif PPh Badan dari 25% menjadi 22% sebesar Rp 20 triliun. Sisanya, cadangan untuk perpanjangan waktu insentif PPh Pasal 21 dan stimulus lainnya yang direncanakan pada Oktober-Desember 2020.
Sebagai aturan pelaksana dari program PEN, insentif dukungan dunia usaha tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 44/PMK.03/2020 tentang Insentif Pajak Untuk Wajib Pajak Terdampak Virus Corona. Beleid ini menyebutkan, insentif berlaku untuk selama enam bulan.
Untuk insentif PPh Pasal 21 menggunakan skema pajak ditanggung pemerintah (DTP). Artinya, pajak karyawan yang biasanya dipungut setiap bulan, tidak akan ditagih lagi oleh otoritas pajak. Insentif ini berlaku untuk masa pajak April hingga September.
Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Kemenkeu Suryo Utomo mengatakan, tujuan dari insentif ini adalah untuk mengungkit daya beli masyarakat menengah di masa pandemi. Akan tetapi, otoritas pajak tidak bisa begitu saja menanggung PPh Pasal 21. Perusahaan pemberi kerja harus mengajukan insentif pajak karyawannya.
Baca Juga: Badan Anggaran DPR usulkan agar pemerintah jalankan sunset policy
Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Perpajakan Yon Asral menambahkan, realisasi pajak karyawan masih minim karena masih banyak pemberi kerja yang belum lapor mengajukan insentif PPh Pasal 21.
“Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sudah mengingatkan agar pemberi kerja juga melapor. Kalau data sudah masuk semua akan naik. DJP sudah dan terus melakukan sosialisasi masif kepada wajib pajak,” kata Yon Arsal kepada Kontan.co.id, Minggu (5/7).
Adapun penyerapan PPh Pasal 21 telah diterima oleh 104.925 karyawan, antara lain berasal dari sektor perdagangan 42.968, industri pengolahan 21.093, jasa perushaan 7.100, jasa lainnya 264, konstruksi dan real estat 9.148, transportasi dan pergudangan 6.299, penyediaan akomodasi 5.468, pertanian 3.016, informasi dan komunikasi 1.737, lainnya 7.832.
Angka tersebut masih jauh dari total karyawan yang terdaftar sebagai wajib pajak (WP) sekitar 35 juta. Bahkan, pun dibandingkan dengan karyawan yang sudah melaporkan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) Tahunan 2019 sejumlah 9,27 juta.
Sayangnya, para pengusaha tidak banyak komentar soal rendahnya penerima insentif pajak karyawan. “Saya nanti lihat dulu rinciannya, tapi kami pasti dari Kadin juga terus bicara dengan pengusaha,” kata Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) Rosan Perkasa Roeslani kepada Kontan.co.id, Minggu (5/7).
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Hariyadi Sukamdani menjelaskan, pengusaha sudah aktif mengajukan insentif karyawannya. Dia menilai insentif PPh Pasal 21 sejak awal tidak efektif mengangkat daya beli karyawan.
Toh, menurutnya banyak karyawan yang dipotong gaji karena alasan cashflow perusahaan saat ini menipis. Sehingga, insentif PPh Pasal 21 jadi tidak berasa mendorong konsumsi para karyawan.
Baca Juga: Badan Anggaran DPR usulkan defisit anggaran tahun 2021 sebesar 4,7%
Hariyadi menambahkan, akan lebih efektif bila pemerintah memberi penundaan pembayaran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan untuk jaminan hari tua dan jaminan pensiun.
“Inikan ditunda, sifatnya tabungan bukan utang. Ada stimulus untuk subsidi bunga dunia usaha, masa ini (BPJS Ketenagakerjaan) tidak bisa diberikan,” kata dia kepada Kontan.co.id.
Dia menambahkan, saat ini pemerintah harus fokus mensinergikan penanganan pandemi corona virus disease 2019 (Covid-19) agar stimulus yang digelontorkan seluruhnya bisa efektif. Utamanya dari sisi kesehatan sebagai akar permasalahan pandemi.
Jika kesehatan bisa diatasi dengan baik, Hariyadi yakin ekonomi akan ikut sehat. Setali tiga uang, kas perusahaan bisa tebal lagi dan menggaji karyawan secara penuh.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News