Reporter: Bambang Rakhmanto, Irma Yani Nasution, Rika Theo |
JAKARTA. Ancaman krisis pangan rupanya bukan isapan jempol. Bank Dunia, Selasa lalu (15/2) merilis data yang menyulut kekhawatiran soal krisis pangan. Kenaikan harga pangan telah mendekati level tertinggi di 2008 dan mengancam 44 juta orang di negara berkembang masuk dalam jurang kemiskinan.
Indeks harga pangan Bank Dunia naik 15% dari Oktober ke Januari 2011. Angka ini sudah memasuki titik bahaya sebab hanya 3% lebih rendah daripada angka tertinggi di 2008.
Seperti yang kita ingat, krisis pangan terjadi di 2008 silam dan mengakibatkan kekacauan di beberapa negara. Kala itu, 100 juta orang jatuh miskin. Bank Dunia mendefinisikan kemiskinan ekstrem jika biaya hidup seseorang kurang dari US$ 1,25 per hari.
Jangan lupa pula, selain indeks Bank Dunia, pada 10 Februari 2011 lalu, Food and Agricultural Organization (FAO) juga merilis indeks pangan yang mengejutkan. Indeks itu melesat hingga 249, padahal rata-rata sepanjang 2010 hanya 195.
Kendati krisis pangan mengancam, menurut Direktur Perencanaan Makro Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas Bambang Prijambodo, Indonesia tak perlu terlalu khawatir. Sebab, melalui kementerian dan lembaga terkait, pemerintah telah mengantisipasi gejolak harga pangan yang kini tengah terjadi.
Malahan, ada faktor yang menguntungkan Indonesia dari gejolak harga pangan itu. Sebab, gejolak harga pangan juga diikuti lonjakan harga komoditas. Dus, kenaikan harga itu memberi manfaat dari sisi ekspor.
Sebab Indonesia kaya sumber daya alam. “Memang ada yang harus kita hadapi seperti gejolak minyak mentah, tetapi secara keseluruhan, netto kita besar, kelapa sawit, batubara, dan macam-macam,” kata Bambang, kemarin (16/2).
Menteri Keuangan Agus Martowardojo mengatakan, pasokan pangan dalam negeri cukup aman sepanjang kuartal I-2011, tetapi pada kuartal II dan III, pemerintah belum bisa memastikan. Ini lantaran cuaca ekstrem diperkirakan masih akan terjadi selama periode tersebut. "Ini yang harus kami antisipasi," kata mantan Direktur Utama Bank Mandiri tersebut.
Agus juga mengakui, gejolak harga pangan dan komoditas dunia tersebut memang bisa menyulut inflasi dalam negeri. Sebab harga di pasar dalam negeri akan ikutan bergerak naik.
Isu Utama di G20
Masalah pangan saat ini telah menjadi isu global. Tak ayal, pertemuan antar Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral yang tergabung dalam G20 di Paris pada 18-19 Februari 2011 nanti akan membahas khusus soal gejolak harga pangan dunia ini.
Agus menyatakan, solusi yang diajukan ke pertemuan G20 adalah membatasi perdagangan komoditas di pasar berjangka (futures commodity trading) dan mengusulkan dana riset untuk meningkatkan produktivitas.
Menurut Agus, praktik futures commodity trading akan memicu permintaan yang terkadang irasional karena tidak memiliki dasar (underlying) yang kuat. "Ini bisa membuat permintaan seakan-akan tinggi, sehingga harga bergerak naik," ujarnya.
Apabila rencana ini disetujui anggota G20, maka praktik spekulasi atas harga pangan harusnya tak ada lagi.
Sementara untuk solusi jangka panjang, G20 akan mengumpulkan dana dari para anggotanya (pooling fund) untuk membiayai riset di bidang pangan. Riset tersebut akan berfokus meningkatkan produktivitas pertanian. Dengan begitu, pasokan pangan global lebih terjamin.
Agus menambahkan, mekanisme macam ini sudah pernah dilakukan pada 1970-an dan membuahkan hasil. "Saat itu, pernah ada kesulitan pangan sehingga negara-negara di dunia mengalokasikan dana untuk riset pengembangan produktivitas padi. Akhirnya berhasil membuat produksi padi meningkat," kata Agus.
Selain kedua solusi itu, upaya stabilisasi harga pangan dunia juga bisa dilakukan dengan menghapus proteksionisme. "Kami ingin hubungan antar negara berjalan baik, jangan mulai saling menjaga kepentingan masing-masing dengan proteksi," katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News