kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.443.000   13.000   0,91%
  • USD/IDR 15.155   87,00   0,57%
  • IDX 7.743   -162,39   -2,05%
  • KOMPAS100 1.193   -15,01   -1,24%
  • LQ45 973   -6,48   -0,66%
  • ISSI 227   -2,76   -1,20%
  • IDX30 497   -3,22   -0,64%
  • IDXHIDIV20 600   -2,04   -0,34%
  • IDX80 136   -0,80   -0,58%
  • IDXV30 141   0,18   0,13%
  • IDXQ30 166   -0,60   -0,36%

Amandemen Ke-4 UUD 1945 justru 'tabrak' Pancasila


Senin, 11 November 2013 / 08:33 WIB
ILUSTRASI. 4 Cara Menghilangkan Bau Badan dengan Bahan Alami, Cobain Yuk!


Reporter: Barratut Taqiyyah | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie

JAKARTA. Sebanyak 40% pasal-pasal dalam UUD 1945 disebut inkonsisten dan tak mengacu pada Pancasila. Inkonsistensi dan ketidaksesuaian tersebut disebut terjadi pada pasal-pasal hasil amandemen konstitusi keempat, atau amandemen terakhir pada 2002.

"Hasil amandemen keempat UUD 1945, sejumlah pasalnya tidak sesuai dengan norma-norma Pancasila," kata Kepala Pusat Studi Pancasila Universitas Gadjah Mada atau PSP-UGM Sudjito, di Universitas Pancasila, Jakarta, Minggu (10/11/2013). Ia mencontohkan pada pasal 33 ayat (4) UUD 1945 yang berbeda dengan ayat 1,2 dan 3.

Pada ayat 1,2, dan 3 ekonomi kekeluargaan atau koperasi. Namun pada ayat 4, yang diterapkan adalah prinsip dalam ekonomi kapitalis, ketika menekankankan masalah daya saing. "Ini yang disebut gap atau jarak, karena jika merujuk pada roh dari pasal tersebut, (ayat 4) tidak sesuai," kata Sudjito.

Sudjito mencontohkan hal yang lain dalam hal demokrasi juga terdapat inkonsisten terhadap Pancasila. Dalam praktiknya politik Indonesia saat ini cenderung mengarah kepolitik liberal. Praktik politik liberal tersebut katanya lebih mengutamakan kepentingan pribadi, kelompok atau golongan.

Padahal menurut sila keempat Pancasila maka yang perlu dilakukan dalam berpolitik adalah musyrawarah untuk mufakat. "Ini sesuai dengan jiwa dan semangat Pancasila," kata Sudjito.

Selain itu, Sudjito menilai pembuatan beragam peraturan daerah (perda) sekarang juga hanya berlandaskan pemikiran "semakin banyak aturan semakin baik". Pembuatan beragam perda, ujar dia, juga banyak yang hanya bertujuan mencari keuntungan semata.

"(Padahal seharusnya), hukumnya sedikit tapi berkualitas dan penyelenggaranya beretika dengan baik," ujar Sudjito. Tetapi, lanjut dia, hal ini tak dapat disalahkan karena memang diizinkan menurut UU. "Saya hanya menyayangkan hilangnya nilai-nilai semangat Pancasila," jelasnya.

Catatan lain dari amandemen konstitusi

Sementara itu Direktur Eksekutif Pusat Studi Pancasila Universitas Pancasila (PSP-UP) Yudi Latif menjelaskan pada pasal 37 UUD 1945 disebutkan mengenai NKRI. Dan pasal 37 menjadi satu-satunya pasal yang tidak boleh diamandemenkan.

Namun pada kenyataannya, kata Yudi, penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia pada praktik merujuk pada sistem feodal. Dia merujuk pemberian otonomi daerah hingga ke tingkat kabupaten sebagai dasar argumentasinya.

Lebih lanjut Yudi mengatakan kedudukan MPR saat ini memang masih ada dalam struktur tetapi fungsi dan kewenangannya telah berubah. MPR hanya sebagai lembaga tinggi negara bukan lagi lembaga tertinggi negara.

Selain itu kata dia saat ini tidak ada lagi Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang digantikan dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP). Padahal GBHN disusun dengan melibatkan seluruh elemen bangsa sesuai dengan semangat Pancasila.

"RPJP yang hanya disusun oleh DPR sehingga yang menentukan kebijakan dasar adalah DPR. Sedangkan GBHN disusun dengan melibatkan seluruh elemen bangsa, buka hanya perwakilan partai saja," jelasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Supply Chain Management on Distribution Planning (SCMDP) Supply Chain Management Principles (SCMP)

[X]
×